-->

Notification

×

Iklan

Iklan

DIALOG AKADEMIA Wujud Tanggung Jawab Dalam Penyelesaian Konflik Hukum di Aceh

06 Maret 2019 | Maret 06, 2019 WIB | Last Updated 2019-03-06T04:53:02Z

Tgk. H. Hasjim Usman, S.Ag : Tindakan Plt Gubernur Aceh tersebut telah melukai hati dan perasaan para tokoh adat dan budaya yang ada di seluruh wilayah Aceh.


HN-Banda Aceh- Kegiatan DIALOG AKADEMIA merupakan wujud dedikasi tanggung jawab dan kepudulian sekaligus respon cepat Universitas Syiah Kuala melalui Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala untuk ikut serta dan berperan aktif mengambil bagian dalam menyelesaikan polemik hukum yang terjadi di Wilayah Aceh". Selain itu, kegiatan DIALOG AKADEMIA ini merupakan manifestasi salah satu DHARMA dari THREE DHARMA PERGURUAN TINGGI yaitu "Pengabdian Masyarakat" disamping secara bersamaan melaksanakan 2 (dua) DHARMA PERGURUAN TINGGI lainnya yaitu "Penelitian" dan Pendidikan.


Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Ilyas Ismail, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dalam kata sambutan Kegiatan forum Ilmiah kali ini mengangkat tema : "MENCARI SOLUSI TERHADAP POLEMIK PENGANGKATAN PLT 3 LEMBAGA ISTIMEWA DI ACEH". diselenggarakan di Ruang Aula Peradilan Semu (Moot Court) Fakultas Hukum Unsyiah Lt. 2 , Darussalam Banda Aceh. 


Para Narasumber yang hadir pada kegiatan DIALOG AKADEMIA tersebut Dr. Amrizal J Prang, S.H., LL.M (Kabiro Hukum Setda Aceh) Dr. Ir. H. Azwar Abubakar, MM (Menteri PAN - RB RI Tahun 2011 - 2014 yang juga Tokoh Masyarakat) Perwakilan DPRA (Tidak hadir) H. M. Daud Yoesoef, S.H., M.H

(Ketua SC MUBES MAA) Zainal Abidin, S.H.  M.Si, M.H (Akademisi Hukum Univ. Syiah Kuala)  Tgk. M. Hasjim Usman, S. Ag. (Koordinator Dewan Adat Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh)


Selanjutnya, Kurniawan S, S.H., LL.M Selaku Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Unsyiah dalam laporannya menyampaikan bahwa tujuan diselenggarakannya Forum Ilmiah berupa DIALOG AKADEMIA ini adalah mengumpulkan para pengambil kebijakan serta para pemilik kepentingan (para tokoh masyarakat, para tokoh adat beserta pegiat/praktisi serta beragam unsur lainnya) dalam satu forum guna dapat menggali serta menelusuri lebih jauh mengenai sebab dan dasar dikeluarkannnya Keputusan Gubernur tentang pengangkatan PLT terhadap 3 lembaga istimewa yang ada di Aceh serta melihat ragam perspektif dari para Narasumber mengenai "Aspek Hukum Pengangkatan PLT terhadap 3 Lembaga Istimewa di Aceh".


Dikatakannya, tujuan akhir dari kegiatan tersebut merumuskan, menampung serta mencari solusi konkrit bersama guna dapat "mengakhiri polemik pengangkatan Plt terhadap 3 lembaga istimewa tersebut khususnya  Majelis Adat Aceh (MAA)," jelasnya. 


Dr. Amrizal J. Prang S.H., LL.M selaku Kabiro Hukum Setda Aceh mengatakan bahwa "Kebijakan yang dilakukan oleh Plt. Gubernur Aceh secara hukum sudah benar. Hal ini mengingat Pasal 16 Qanun Provinsi NAD No.3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Struktur Organisasi dan Tata Kerja   MAA mengamanatkan ketententuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan ketua MAA yang belum diatur dalam Qanun ini diatur dengan Keputusan Gubernur yang beradasarkan rezim hukum UU No. 12 Tahun 2011 dikenal sebagai Peraturn Gubernur (Pergub), sebut Amrizal.


"Dengan demikian, keberadaan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh yang mengatur mengenai tata cara pemilihan ketua MAA merupakan wujud pelaksanaan dari kewenangan yang diatribusikan oleh Qanun Provinsi NAD tersebut", tutup Amrizal.


H. M. Daud Yoesoef, S.H., M.H selaku Ketua SC MUBES Majelis Adat Aceh (MAA) yang juga Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala mengatakan bahwa "Pelaksanaan MUBES MAA pada prinsipnya berjalan sesuai dengan sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundang undangan baik Qanun Provinsi NAD No. 3 Tahun 2004, serta Peraturan Tata Tertib dan berbagai kebiasaan, tradisi dan praktek MAA selama ini dalam melaksanakan musyawarah guna memilih ketua", sebut Daud Yoesoef. 


Menurut Daud Yoesoef, "Berdasarkan amanat ketentuan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh maupun Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, bahwa keberadaan Majelis Adat Aceh (MAA) (baik MAA provinsi maupun MAA kabupaten/kota) merupakan "lembaga Otonom dan Mitra Pemerintah Daerah (baik Pemerintah Aceh maupun pemerintah kabupaten/kota)".


"Konsekuensi yuridis (hukum) dari amanat peraturan perundang-undangan tersebut, maka lembaga mitra yang satu tentunya tidak berwenang mengurus urusan rumah tangga lembaga mitra yang lainnya", tegas Daud Yoesoef.


"Sebagai sebuah lembaga yang bersifat OTONOM, MUBES sebagai wadah muayawarah para tokoh adat di Aceh yang telah dilaksanakan oleh Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan forum tertinggi dalam mengambil keputusan dalam hal memilih Ketua MAA beserta para pengurus", tutup H. M. Daud Yoesoef, S.H., M.H selaku Ketua SC MUBES MAA tersebut.


Zainal Abidin, S.H., M.Si, M.H selaku Akademisi Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala mengatakan bahwa "Plt Gubernur Aceh tidak memiliki alas hak secara hukum untuk masuk ke ranah kekuasaan independen. Menurut Zainal, "MAA bagian dari kekuasaan independen yang berpuncak dan tunduk pada Wali Nanggroe (WN)". 


"MAA tidak berada di kekuasaan eksekutif,  karenanya tidak tunduk kepada Eksekutif", sebut Zainal. 


Menurut Zainal, Secara yuridis, Qanun Provinsi NAD No. 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh (MAA) hanya memberi ruang kepada Eksekutif (Gubernur) untuk mengukuhkan pengurus MAA yang dipilih dan ditetapkan Mubes serta di wilayah sekretariat MAA. Selain itu berdasarkan amanat Qanun Provinsi NAD No. 3 Tahun 2004 tersebut serta Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat mengamanatkan bahwa Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan lembaga OTONOM dan MITRA Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota)". 


"Sebagai "lembaga mitra Pemerintah Daerah", dalam hal mengisi kekosongan jabatan Ketua maupun pengurus pada ketiga lembaga istimewa tersebut (MAA Aceh, MPA, dan Baitul Mal), baik secara yuridis (hukum) maupun logika hukum, Eksekutif (Plt. Gubernur Aceh) tidaklah dapat dan tidak diperbolehkan mengambil kebijakan dengan mengangkat Plt terhadap ketiga lembaga istimewa tersebut (MAA Aceh, MPA dan Baitul Mal). Bagaimana mungkin LEMBAGA MITRA yang satu dapat IKUT CAMPUR dalam mengurus dan mengatur urusan rumah tangga LEMBAGA MITRA yang lain", tegas Zainal Abidin. 


Menurut Zainal Abidin, secara hukum Eksekutif (Plt Gubernur Aceh) tidak berwenang  dan tidak diberi wewenang oleh hukum untuk mengangkat dan menetapkan Plt Ketua MAA. Hal ini disebabkan karena kewenangan memilih dan menetapkan pengurus (ketua) MAA secara eksklusif merupakan wewenang MUBES yang lahir secara atribusi melalui Pasal 11 ayat (1) Qanun Provinsi NAD No. 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Adat", tegas Akademisi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala tersebut. 


"Tidak ada satu pasal pun dalam Qanun tersebut yang memberi wewenang kepada Plt Gubernur Aceh untuk mengangkat Plt Ketua MAA," lanjutnya.


Dikatakannya, ketentuan Pasal 16 Qanun Provinsi NAD No. 3 Tahun 2004 tersebut  yang memberi peluang Majelis Adat Aceh (MAA) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur (Kepgub),  yang digadang gadangkan dapat dijadikan sumber wewenang Eksekutif (Plt. Gubernur Aceh).


"Padahal, sampai saat ini Keputusan Gubernur (Kepgub) tersebut belum ada, namun Kepala Biro Hukum (Kabiro) Hukum Setda Aceh menjadikan hukum yang belum ada tersebut sebagai sumber kewenangan Eksekutif (Plt. Gubernur Aceh),  telah mengacaukan sistem hukum dan cara ideal berfikir hukum logis", papar Zainal. 


Zainal, mengatakan "Dalam kenyataannya, hukum positif yang ada saat ini tidak ada satu ketentuan yang memberi kewenangan kepada Eksekutif (Plt. Gubernur Aceh) untuk mengangkat Plt Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). Olehkarena tidak ada kewenangan tersebut,  maka Eksekutif (Plt. Gubernur Aceh) tidak pula bisa menggunakan "prinsip kebebasan bertindak (freisermessen atau discretionary power) untuk mengobok obok pengurus Majelis Adat Aceh (MAA). 


"Oleh karena secara hukum Eksekutif (Plt. Gubernur Aceh) tidak memiliki kewenangan untuk mengangkat Plt  Ketua MAA, maka berdâsarkan Pasal 56 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa Keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang tidak berwenang merupakan keputusan yang tidak sah," terang Zainal". 


Menururnya, akibat hukum keputusan yang tidak sah tersebut berdâsarkan Pasal 70 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, maka keputusan tersebut tidak mengikat dan akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada", tegas Akademisi Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala tersebut.


"Untuk itu,  beliau melanjutkan bahwa "Apabila dialokasikan anggaran untuk jabatan yang tidak sah tersebut, secara hukum juga akan berimplikasi terhadap tidak sah nya berbagai penggunaan anggaran Pemerintah Aceh yang dikelola oleh pejabat yang tidak sah tersebut, sehingga dapat dikategorikan merugikan keuangan negara", tutup Zainal Abidin.


Tgk. H. Hasjim Usman, S.Ag selaku Koordinator Dewan Adat Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh mengatakan bahwa "Eksekutif (Plt. Gubernur Aceh) telah melakukan kesalahan fatal dengan mengangkat Plt terhadap ketiga lembaga istimewa yang ada di Aceh khususnya di Majelis Adat Aceh (MAA)".


Tindakan Plt Gubernur Aceh tersebut telah melukai hati dan perasaan para tokoh adat dan budaya yang ada di seluruh wilayah Aceh", tegas Hasjim Usman.


Menurut Hasjim, "Majelis Adat Aceh (MAA) memiliki wewenang secara eksklusif dan tidak dapat dicampuri oleh Eksekutif (bahkan Gubernur Definitif sekalipun) dalam memilih ketua beserta para pengurus yaitu melalui mekanisme MUBES yang melibatkan para Ketua beserta pengurus Majelis Adat Aceh (MAA) yang ada dari seluruh wilayah Provinsi Aceh".


"Hasil MUBES tersebut merupakan keputusan tertinggi dan bersifat eksekutorial (tidak dapat ditunda kecuali ditentukan lain dalam MUBES tersebut)", tegas Hasjim.


Menurut Hasjim Usman, "Pengangkatan Plt Ketiga lembaga istimewa yang ada di Aceh tersebut pada hakikatnya telah mencederai sekaligus mengkhianati KONSENSUS yang telah dibangun oleh para tokoh adat di Aceh dalam MUBES MAA", tutup Hasjim Usman.


Adapun Dr. Ir. H. Azwar Abubakar, MM (Tokoh Masyarakat Aceh yang juga Menteri PAN RB Tahun 2011 - 2014) mengatakan bahwa "Polemik pengangkatan Plt terhadap ketiga lembaga istimewa yang ada di Aceh khususnya lembaga Majelis Adat Aceh (MAA) dapat segera diakhiri, sehingga Pemerintah Aceh dapat lebih fokus dan masif dalam melaksanakan perioritas pemerintahannya dalam mewujudkan Visi ACEH HEBAT". 


Azwar Abubakar melanjutkan bahwa "Pemerintah Aceh tentunya memiliki banyak pekerjaan rumah tangga dalam mewujudkan kesejahteraan (welfare) masyarakat Aceh melalui berbagai program pembangunan yang sudah direncanakan".


"Untuk itu, suasana damai dan kebersamaan antara Pemerintah Aceh dengan seluruh komponen masyarakat di Aceh termasuk para Tokoh Adat (TODAT) merupakan prasyarat mutlak dan suatu keniscayaan dalam mewujudkan VISI ACEH HEBAT melalui berbagai program yang sudah dirancang", tegas Azwar Abubakar.


Tokoh Masyarakat Aceh serta Mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN RB) RI Tahun 2011 - 2014 tersebut menyarankan "agar kiranya Pemerintah Aceh dalam hal ini Plt Gubernur Aceh berkenan duduk bersama para pihak terkait guna menyelesaikan sekaligus mengakhiri polemik tersebut dengan cara budaya ketimuran warisan para leluhur kita yaitu musyawarah mufakat yang mengedapankan langkah langkah persuasif, komunikatif dan partisipatif. 


Menurutnya "Aceh tidak akan akan dapat mewujudkan cita dan harapan Visi ACEH HEBAT dalam bentuk berbagai program pembangunan dalam suasana GADUH, TIDAK KOMPAK dan SALING CURIGA. Untuk saya mengajak semua pihak baik dari kalangan tokoh adat yang ada di Aceh maupun Eksekutif (Plt Gubernur Aceh) agar selalu berkepala dingin dan mau saling membuka diri untuk membangun komunikasi", tutup Azwar.


Kegiatan DIALOG AKADEMIA tersebut dihadiri oleh 148 (seratus empat puluh delapan) peserta yang berasal dari Para Tokoh Masyarakat (Tomas), Para Tokoh Adat (Todat), Para Akademisi baik yang terdapat di Lingkungan Unsyiah di lingkungn UIN Ar Raniry serta di lingkungan PTN dan PTS lainnya di Aceh, Para Advokat dan Praktisi Hukum, Para Pengamat/Pemerhati dan pegiat sejarah, Adat dan Adat istiadat, serta budaya di Aceh, Para utusan CSO yang konsen pada isu sejarah, adat dan adat istiadat, serta budaya di Aceh, Para ketua pusat riset/studi baik yang berada di lingkungan Unsyiah maupun di luar lingkungan Unsyiah, Para Mahasiswa Program S 1, Program Magister Ilmu Hukum (MIH) Fakultas Hukum Unsyiah, Para Mahasiswa Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Unsyiah, Para Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (DIH) Fakultas Hukum Unsyiah. 


Hadir dalam kegiatan tersebut sejumlah tamu undangan dari beberapa instansi vertikal yang ada di Aceh yaitu Para Utusan/perwakilan dari KODAM Iskandar Muda (IM), POLDA Aceh, Kejaksaan Tinggi (Kajati),   Kementerian Pertahanan (KEMHAN) Wilayah Aceh, dan Kementerian Hukum dan HAM (KEMENKUMHAM) Kanwil Aceh. 


Selain itu, kegiatan tersebut juga dihadiri oleh sejumlah Tokoh Masyarakat (TOMAS) Aceh diantaranya Abu Muhammad Yus, Karimun Usman, Azhari Bashar, dan sejumlah tokoh masyarakat Aceh lainnya .



Rekomendasi dan alternatif solusi yang diperoleh dari kegiatan DIALOG AKADEMIA tersebut, 


Pertama, mendorong eksekutif (Plt. Gubernur Aceh) mau membuka diri untuk bertemu dengan para fungsionaris dan para tokoh adat di Aceh guna mencari solusi terbaik melalui langkah dialogis dan musyawarah mufakat dalam upaya mengakhiri polemik pengangkatan Plt terhadap 3 Lembaga Istimewa yang ada di Aceh khususnya Majelis Adat Aceh (MAA).


Kedua, semua pihak kiranya harus saling menjaga dan menahan diri dan berada dalam kondisi kepala dingin dalam menghadapi polemik tersebut. 


Ketiga,  menghimbau semua pihak agar menghindari sikap dan tindakan represif yang dapat merugikan dan mencoreng nama baik Aceh dan masyarakat Aceh. (*)

close