-->

Notification

×

Iklan

Iklan

P3KHAN LAN RI - ACEH dan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Gelar DISKUSI PUBLIK

31 Januari 2019 | Januari 31, 2019 WIB | Last Updated 2019-01-31T04:03:37Z

HN-Banda Aceh-Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Hukum Administrasi Negara (P3KHAN) LAN RI - ACEH bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, menggelar DISKUSI "DISKUSI PUBLIK" di Ruang Auditorium Malahayati Gedung P3KHAN LAN RI, Aceh Besar, Rabu, (30/1/2019)

Dalam DISKUSI PUBLIK mengangkat tema "Menakar Efektifitas Kekhususan Aceh dalam UU Pemerintahan Aceh" tersebut menghadirkan dua Narasumber dari Ombusdman RI Perwakilan Aceh, dan juga seorang yang terlibat dalam mengawal RUUPA, DR. Taqwaddin, S.H.MS, serta Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala/Pakar Hukum Tata Negara, DR. M. Gausyah, S.H., M.H.

Kegiatan DISKUSI PUBLIK tersebut dibuka oleh Kepala P3KHAN, Ir. Faizal Adriansyah,M.Si, dan dihadiri 183 peserta dari berbagai komponen, diantaranya Utusan Kemenkumham Kanwil Aceh, Utusan Biro Hukum Setda Aceh, Utusan Biro Organisasi dan berbagai Utusan dari beberapa SKPA, DPW GBN Aceh, Para Advokat Senior, beberapa Ormas/CSO yang bergerak di isu Politik hukum, Demokrasi, dan Pemerintahan, Para Akademisi di lingkungan Universitas Syiah Kuala, UIN Ar Raniry dan Unmuha, beberapa keterwakilan Mahasiswa dan Organisasi Kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) baik dari Universitas Negeri (Unsyiah, UIN At Raniry) maupun dari Universitas Swasta (Abulyatama, Unmuha, Unida, dan lainnya), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) baik BADKO HMI maupun HMI Cabang Banda Aceh, pengurus IMM serta berbagai komponen baik pemerintah maupun non pemerintah.

Kepala P3KHAN LAN ACEH, Ir. Faizal Adriansyah, M.Si mengatakan bahwa "Tupoksi Lembaga Administrasi Negara (LAN) selain pelatihan aparatur dan inovasi administrasi negara juga melakukan kajian kebijakan".

"Khusus Lembaga Administrasi Negara (LAN) di Aceh mendapat mandat melakukan kajian dibidang Hukum Administrasi Negara (HAN) dan untuk itulah alasan adanya diskusi publik hari ini," ujar Faizal Adriansyah.

Menurutnya, kedepan diskusi publik dan kajian terkait Hukum Administrasi Negara (HAN) akan banyak dilakukan seiring dgn mandat yg diberikan kepada P3KHAN LAN.

"Kita berharap dengan kehadiran P3KHAN LAN di Aceh menjadi peluang untuk Aceh memberikan kontribusi pemikiran yg sifatnya nasional di bidang Hukum Administrasi Negara", sebut Faizal Adriansyah.

Faizal berharap, rumusan Diskusi Publik hari ini semoga bermanfaat bagi Aceh khususnya dan Indonesia secara umum.

Selanjutnya, DR. Taqwaddin, S.H., MS, mengatakan keberadaan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada hakikatnya manifestasi dari amanat Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi bahwa "Negara Mengakui dan Menghormati Satuan Satuan Pemerintahan daerah yang bersifat Khusus atau bersifat Istimewa yang diatur dengan undang undang".

"Sebagai konsekuensi yuridis sekaligus tindak lanjut amanat Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia hingga saat hanya terdapat 4 (empat) satuan daerah yang dinyatakan berstatus KHUSUS yaitu Provinsi Aceh (seiring dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun 2006), Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dan Provinsi Papua serta Papua Barat", sebut Taqwaddin.

Lanjut Taqwadin, satuan pemerintahan daerah yang berstatus ISTIMEWA di Indonesia terdapat 2 (dua) daerah Provinsi yaitu Provinsi Aceh (seiring dengan diundangkannya UU No. 44 Tahun 1999) dan Provinsi Yogyakarta (UU 13 Tahun 2012).

Dengan demikian, menurut Taqwaddin "dapatlah disimpulkan bahwa, Aceh adalah satu satunya satuan pemerintahan daerah di Indonesia yang diberikan pengakuan satuan pemerintahan daerah secara yuridis formal mendapatkan status satuan pemerintahan yang bersifat KHUSUS (di bawah rezim hukum UU No. 11 Tahun 2006) yang secara bersamaan juga mendapat pengakuan status pemerintahan daerah yang bersifat ISTIMEWA (di bawah rezim hukum UU No. 44 Tahun 1999).

Tambah Taqwadin, hasil kajian yang dilakukannya, bahwa berdasarkan status satuan pemerintahan daerah yang bersifat KHUSUS, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberi 26 kewenangan KEKHUSUSAN kepada Aceh".

Dikatakan Taqwadin, berdasarkan status pemerintahan daerah yang bersifat ISTIMEWA, UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Daerah Provinsi Istimewa Aceh telah memberikan legitimasi secara yuridis formal KEISTIMEWAAN kepada Aceh dalam 4 hal Pertama, Penyelenggaraan Pendidikan, kedua, Penyelenggaraan kehidupan beragama, ketiga, Penyelenggaraan Kehidupan Adat istiadat, dan keempat, Peran ulama dalam pengambilan kebijakan daerah.

"Terhitung sejak diundangkannya UU Pemerintahan Aceh pada tahun 2006 hingga tahun 2019 ini, tercatat bahwa 2019 ini merupakan tahun ke-14 berlakunya UU Pemerintahan Aceh", sebut Taqwaddin.

Sebagai sebuah produk, Taqwaddin menilai bahwasanya terdapat beberapa materi muatan dalam UU Pemerintahan Aceh tersebut saat ini tidak lagi relevan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat Aceh saat ini.

Namun, saran Dr Taqwaddin, agar tidak melakukan baik "Legislative Review" maupun "Judicial Review" terhadap UUPA karena momentumnya sudah tidak lagi tepat.

"Biarkan saja UUPA itu eksis bersama UU yang lain dan jika ada benturan hukum maka solusinya mengacu pada asas Lex superior, Lex spesialis, dan Lex posterior," paparnya.

Menurutnya, jika substansi atau ketentuan dalam UUPA tidak pas lagi, dengan mengutip pendapat Prof Paul Scholten, biarkan saja ketentuan tersebut tetap ada sebagai Slapende Reglement (sebagai bukti historis)) masa itu.

Dr Taqwadin, mengajak para pimpinan Aceh untuk mengimplentasikan perintah-perintah UUPA yang masih belum terealisasi. "Saya mengharapkan adanya UU Pemerintahan Aceh harus secara lebih cepat mewujudkan peningkatan kesejahteraan dan kecerdasan bagi rakyat Aceh.

Sementara itu, DR. M. Gausyah, S.H., M.H dalam ulasannya mengatakan bahwa "Pelaksanaan kewenangan Kekhususan Aceh sebagaimana yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh terdapat beberapa hal yang belum optimal dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh diantaranya adalah menyangkut pengelolaan dana Otonomi Khusus".

"Kita semua tahu bahwa selama sekitar 13 Tahun pengelolaan Dana Otsus di Aceh lebih dominan diperuntukkan guna pembangunan infrastruktur. Sehingga tidak heran meskipun Aceh sudah mengirimkan Dana Otsus selama sekitar 13 tahun, namun masih belum berkolerasi positif terhadap peningkatan perekonomian Dan kesejahteraan masyarakat", sebut Gausyah.

Selain, itu Gausyah menyebutkan bahwa UU Pemerintahan Aceh merupakan produk manusia. Untuk itu tidak semua materi muatan yang memberikan kewenangan KEKHUSUSAN kepada Aceh sebgaimana yang terdapat dalam UU Pemerintahan Aceh tersebut mampu menampung dinamika politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat Aceh saat ini. Untuk itu perlu dilakukan amandemen terhadap UU Pemerintahan Aceh." pungkas, Gausyah.(****)
close