Habanusantara.net- Jakarta - Aktivis Buruh Perempuan dari berbagai komunitas di Indonesia mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi International Labour Organization atau Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No. 190 dan Rekomendasi No. 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
Hal itu disampaikan dalam kegiatan Workshop Keseteraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang diselenggarakan secara virtual, Rabu, 15 September 2021, dengan tema Strategi Ratifikasi Konvensi ILO 190 'Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja'.
Employement Specialist ILO Jakarta, Khazutoshi Chatani mengatakan, perempuan dan anak perempuan adalah yang paling berdampak yang cukup dirugikan terutama di dunia kerja.
Bahkan di era digital cyber bullying juga menyasar mereka, yang akhirnya menimbulkan diskriminasi.
"ILO sangat senang karena KSBSI bisa mengkampanyekan Konvensi ILO 190 ini. Dibutuhkan kerjasama semua pihak, supaya ILO dapat terus berkontribusi dalam penghapusan kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia," kata Khazu dalam sambutannya.
Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban, meminta kepada seluruh konfederasi serta stakeholder terkait untuk terus bersinergi mengkampanyekan isu penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja sesuai dengan konvensi ILO 190.
"Kita harus bersinergi untuk meminta pemerintah meratifikasi konvensi ILO 190. Karena ini sangat penting, dengan meratifikasi dan melaksanakan konvensi ILO No. 190 akan menjadi peluang besar untuk kita mengakhiri kekerasan dan pelecehan di dunia kerja," tegas Elly.
Menurutnya, meskipun tidak seorang pun harus mentolerir kekerasan dan pelecehan, akan tetapi bagi banyak pekerja terutama perempuan sering sekali menjadi korban kekerasan yang tidak dapat terhindarkan.
"Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja terjadi disemua sektor pekerjaan diseluruh dunia, makanya diatasi secara global melalui instrumen disebut konvensi," tambahnya.
KSBSI, kata Elly, selama ini terus meminta Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi ILO No. 190 ini. Walaupun disatu sisi saat ini pemerintah sedang dihadapkan dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS).
"Akan tetapi, cakupan ratifikasi jauh lebih luas. Jangan sampai kita ketinggalan dengan negara Haiti yang sudah meratifikasi konvensi ini. Tidak ada yang perlu ditakutkan oleh pemerintah, karena ini untuk peningkatan harkat dan martabat Indonesia di mata dunia international," tutur Elly.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati menjelaskan tepat 21 Juni 2019 seluruh dunia mencetak sejarah penting atas disahkannya Konvensi ILO 190 "Konvensi Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja" dalam sidang Konferensi Perburuhan Internasional/International Labour Conference (ILC) yang berlangsung di Jenewa, Swiss.
"Tentu pemerintah, organisasi, pengusaha, serikat pekerja dan forum, sepakat ini disahkan untuk menghapus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja terutama diseluruh negara yang tergabung di Persatuan Bangsa, Bangsa (PBB)," sebut Riswati yang juga lKetua kesetaraan KSBSI.
Untuk diketahui, saat ini sudah 7 negara anggota PBB yang telah mengambil langkah formal ratifikasi Konvensi 190 diantaranya, Uruguay, Argentina, Equador, Somalia, Namibia, Fiji dan Yunani.
Sedangkan negara-negara yang berencana melakukan analisis pra- ratifikasi Konvensi ILO 190 seperti, Vanuatu, Thailand, Timor Leste. Kemudian, negara yang telah bermina klot untuk menangani masalah dan akan meratifikasi Konvensi 190 di masa yang akan datang ada Bangladesh, Kamboja, Malaysia, Nepal, Filiphina dan Vietnam.
"Sementara Indonesia, hari ini belum melakukan ratifikasi," jelasnya.
Riswati menyebutkan konvensi ini menjadi penting mengingat begitu banyak data kasus di Indonesia, kasus-kasus kekerasan di dunia kerja. Ini menjadi catatan penting mengapa konvensi ini penting di ratifikasi oleh negara Indonesia dan diimplementasikan.
Komisi Keseteraan Nasional KSBSI, Maria Emeninta menyebutkan, Indonesia sejak awal termasuk negara yang mendukung Konvensi ILO No. 190 dan Rekomendasi No. 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dari 387 negara lain yang menjadikannya diadopsi 2 tahun lalu di Jenewa.
"Kita mengapresiasi pemerintah karena tidak menentang konvensi ini, sebagai sebuah tanda setuju martabat negara dan dunia dijunjung tinggi. Oleh karena itu seiyogianya tidak ada alasan menolak ratifikasi. Kita berharap ratifikasi di Indonesia segera terwujud," ujar Maria.
PO for Gender & Labour Standard ILO, Lusiani Julia, menyebutkan ILO No. 190 dan Rekomendasi No. 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja merupakan isu yang sangat penting untuk terus digaungkan, karena ini suatu konvensi yang fokus utama berbicara soal kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang memiliki standar internasional.
"Konvensi ini dirancang membutuhkan peran dari semua pihak, ada fungsi dari pemerintah, fungsi dari pengusaha, dan fungsi dari pekerja. Konvensi ini tidak bisa bekerja hanya di salah satunya, tapi menghadapkan semua orang harus berperan untuk memerangi atau menghentikan kekerasan ditempat kerja," tegas Lusi.
Adapun pendekatan yang dilakukan, kata Lusi, yakni inklusif, terpadu dan responsif gender. Jadi tujuannya untuk melindungi semua pekerja disemua sektor baik formal maupun informal. Kemudian bertujuan juga apabila terjadi pelecehan bagaimana cara mengatasinya.
"Disini yang diutamakan adalah menggunakan jalur perburuhan. Kemungkinan ada hukum pidana bisa saja. Tapi, konvensi ini mengatakan terlebih dahulu menggunakan jalur perburuhan," ungkapnya.
Dirjen PHI & Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri, melalui Kasubbag KLN Kasubbag KLN Analis Kebijakan Ahli Muda, Sri Sugiarti menyampaikan, kondisi kerja yang bebas darikekerasan dan pelecehan membuat dunia kerja menjadi nyaman.
"Konvensi ILO No. 90 dan Rekomendasi No. 206, merupakan peraturan standar perburuhan international yang memberikan kerangka aksi yang jelas serta peluang untuk membentuk masa depan dunia kerja,"terangnya.
Menurut Sri terkait hal tersebut, pemerintah sebelum melakukan ratifikasi terhadap ILO No. 190 itu, terlebih dahulu pemerintah membenahi semua hukum nasional yang ada dan dalamproses.
Sementara itu, Asisten Deputi Peningkatan Partisipasi Lembaga Profesi dan Dunia Usaha, Eko Novi Ariyanti, menjelaskan konvensi ILO No. 190 ini merupakan kesepakatan tiga pihak, pemerintah, dunia usaha dan pekerja. Ketiga pihak tersebut harus terus diberikan advokasi supaya sama-sama bersinergi dalam hal ini.
"Tentangan saat ini yang masih kita hadapi seperti, masih ada perusahaan yang belum memiliki perspektif responsif gender. Kemudian, masih ada pekerja perempuan yang enggan melapor kasus yang dialami karena malu. Serta, adanya perubahan penempatan pejabat pada perusahaan sehingga perlu ada sosialisasi kembali," tutup Novi.
Untuk diketahui, kegiatan ini diselenggarakan oleh ILO yang bekerjasama dengan Komisi Keseteraan KSBSI dan Flower Aceh. (Akbar)