-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tamparan Rencana PPN Sembako: 'Kolonialisme' untuk Si Miskin!

11 Juni 2021 | Juni 11, 2021 WIB | Last Updated 2021-06-11T00:43:59Z

Habanusantara.net, Jakarta -Wacana perluasan pajak pertambahan nilai (PPN) jadi sorotan. Khususnya pengenaan PPN pada komoditas sembako. Banyak pihak menilai wacana ini merugikan masyarakat kecil yang miskin, tapi ringankan yang kaya.

Rencana ini tertuang dalam draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam pasal 4A, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dihapus dalam RUU KUP sebagai barang yang tidak dikenakan PPN. Dengan kata lain, sembako akan dikenakan PPN.

Dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, jenis barang kebutuhan pokok yang dimaksud, yakni beras dan gabah,jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan ubi-ubian.

Ekonom pun menolak wacana ini, Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan perluasan objek PPN ke bahan pangan akan sangat berisiko. Pasalnya hal ini bisa menaikkan harga pada barang kebutuhan pokok dan mendorong inflasi, dan menurunkan daya beli masyarakat.

Bhima juga menilai wacana ini tidak sejalan dengan upaya untuk pemulihan ekonomi. Apalagi, wacana ini dibarengi oleh rencana pencabutan subsidi lainnya dari subsidi listrik, pengurangan bansos.

Imbasnya bukan saja memperlambat pemulihan pertumbuhan ekonomi, menurut Bhima wacana ini bisa mendorong naiknya angka kemiskinan

"Sebanyak 73% kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah," ungkap Bhima kala dihubungi detikcom, Kamis (10/6/2021).

Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet juga berpendapat kenaikan PPN bisa mengganggu upaya pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat. Sebab, meskipun kenaikan PPN hanya 2%, dari 10% menjadi 12%, bagi kelas menengah ke bawah dampaknya bisa signifikan.

"Itu (pengenaan PPN) sebenarnya bisa berdampak signifikan gitu terhadap daya beli mereka, terhadap kemampuan konsumsi mereka. Apalagi sebenarnya tidak ada jaminan tahun depan misalnya pemerintah bisa mengembalikan kondisi perekonomian seperti sebelum terjadinya pandemi," papar Rendy.

Beragam protes juga dilayangkan dari banyak pihak, kalangan buruh misalnya. Mereka menilai wacana perluasan PPN ke sembako menyusahkan orang kecil. Di sisi lain, orang kaya banyak diberikan relaksasi pajak oleh pemerintah.

Misalnya wacana pemberian tax amnesty atau pengampunan pajak jilid II hingga relaksasi PPnBM untuk beli mobil. Presiden KSPI Said Iqbal menyebut kebijakan ini bernada kolonialisme.

"Kami mengecam keras! Kebijakan ini bersifat kolonialisme, cara-cara memberlakukan kembali tax amnesty jilid II dan menaikkan PPN khususnya PPN sembako adalah cara-cara kolonialisme tanda petik yang dilakukan Menteri Keuangan," ujar Said Iqbal dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (10/6/2021)

"Ini adalah sifat penjajah. Orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil diberikan relaksasi PPnBM dalam kapasitas tertentu 0% tapi rakyat untuk makan yang kita kenal dengan sembako direncanakan dikenai pajak," lanjutnya.

Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) memprotes rencana pemerintah untuk menarik pajak dari pembelian bahan pokok. Ketua umum IKAPPI Abdullah Mansuri mengharapkan pemerintah agar menghentikan upaya bahan pokok sebagai objek pajak. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal sebelum benar-benar memberlakukan kebijakan tersebut.

Dia mengungkapkan hal ini tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Apalagi barang yang akan dikenakan pajak adalah beras dan gabah, sagu, jagung, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayuran, ubi-ubian, bumbu dan gula konsumsi.

Abdullah menjelaskan IKAPPI mencatat lebih dari 50% omzet pedagang pasar masih turun. Apalagi sekarang pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan pada beberapa bulan belakangan.

"Harga cabai bulan lalu hingga Rp 100.000, harga daging sapi belum stabil mau di bebanin PPN lagi? Gila... kami kesulitan jual karena ekonomi menurun dan daya beli masyarakat rendah. Mau ditambah PPN lagi, gimana tidak gulung tikar," jelas Abdullah dalam keterangannya, Rabu (9/6/2021).

Lembaga perlindungan konsumen juga menolak rencana ini. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai wacana ini dianggap sebagai kebijakan yang tidak manusiawi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, saat daya beli masyarakat sedang turun drastis.

"Pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi," kata Tulus dalam keterangan tertulis, Kamis (10/6/2021).

Ia mengatakan, pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat. "Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN," tegas Tulus.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun buka suara, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo melalui akun Twitter-nya @prastow menjelaskan penerimaan PPN di Indonesia belum optimal.

Sebab, terlalu banyak pengecualian dan fasilitas, yang mana Indonesia menjadi negara dengan pengecualian terbanyak. Hanya saja, itu terkadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jadi ruang penghindaran pajak.

"Bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas," cuit Yustinus. detikcom sudah mendapatkan izin untuk mengutip cuitannya



Pengaturan seperti yang dia jelaskan di atas, menurutnya justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai, di mana yang mampu bayar tidak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Oleh karena itu perlu dipikirkan upaya untuk menata ulang agar sistem PPN di Indonesia lebih adil.

"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, nggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil!," ungkap Yustinus.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri juga sudah angkat bicara soal wacana ini. Draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) disebutnya bocor ke publik. Padahal menurutnya, Sri Mulyani mengatakan akan menjelaskan secara lengkap soal rencana tersebut jika sudah dibahas di rapat paripurna DPR RI.

"Mengenai masalah PPN, mungkin Komisi XI juga memahami kita menyampaikan RUU KUP yang sampai hari ini belum disampaikan, dibacakan di paripurna. Kami tentu dari sisi etika politik belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas karena ini dokumen publik yang kami sampaikan pada DPR melalui Surat Presiden," katanya dalam raker bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (10/6/2021).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun menyayangkan adanya RUU KUP yang bocor ke masyarakat saat belum waktunya dibahas. Dia memastikan saat ini pemerintah masih fokus untuk pemulihan ekonomi.

"Ini memang situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga sehingga kami tidak dalam posisi untuk bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari perpajakan kita, yang keluar sepotong-sepotong yang kemudian di-blow up dan seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak bahkan mempertimbangkan situasi hari ini," jelas Sri Mulyani.

Kalaupun RUU KUP terealisasi, kata Sri Mulyani, belum tentu semua yang diusulkan pemerintah disetujui dan dijalankan dalam waktu dekat. Nantinya semuanya akan dibicarakan terlebih dahulu oleh DPR RI.

"Itu semua kita akan presentasikan secara lengkap, by sektor, by pelaku ekonomi kenapa kita mengusulkan pasal ini, landasannya apa dan kalau pun itu adalah arah yang benar apakah harus sekarang, apakah harus 6 bulan, apakah harus tahun depan, itu semuanya nanti kita ingin membahas secara penuh dengan Komisi XI," papar Sri Mulyani.[Sumber : Detik.com]

close