Direktur eksekutif Flower Aceh, Riswati |
Habanusantara.net, Banda Aceh – Elemen sipil di Aceh menilai Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan Seksual Terhadap Anak pada 7 Desember 2020 tidak signifikan menjawab persoalan kekerasan seksual saat ini.
Fasilitator Kesetaran Gender, Abdullah Abdul Muthalieb menyebutkan PP Kebiri mengabaikan akar masalah.
“Kekerasan seksual itu sumbernya dipikiran laki-laki yang patriakhis. Jadi kebiri bukan solusi yang hanya menyasar "penis" akan tetapi tidak mampu mengubah pikiran laki-laki. Dalam jangka pendek bisa jadi akan menimbulkan shock terapy tetapi sekali lagi tidak akan menyelesaikan masalah. Justru ini bisa menjadi pemicu lahirnya kekerasan seksual dalam bentuk yang lebih sadis. Sangat terbuka kemungkinan tindakan terjadi lebih brutal dengan cara-cara yang tak lazim terjadi selama ini. Jadi kebijakan ini bisa populis tapi tidak jadi solusi yang baik”.
Presidum Balai Syura, Suraiya Kamaruzzaman juga menyatakan hal senada, “PP kebiri tidak menjawab akar persoalan perkosaan dan kekerasan seksual, termasuk pada anak”.
Tegasnya “Berbagai kekerasan ini terjadi ada kaitannya dengan relasi kekuasaan. Jadi tidak bisa diselesaikan dengan kebiri. Selain itu perkosaan tidak hanya dilakukan dengan menggunakan penis. Ini kalau hukumannya kebiri mempersempit definisi perkosaan jadinya”.
Sementara itu, Direktur Eksektif Flower Aceh, Riswati menilai PP Kebiri tidak menjawab langsung pemulihan korban yang justru sangat dibutuhkan.
“Kasus kekerasan seksual terus terjadi, tantangan penanganannya masih kuat dirasakan, terutama di Aceh terkait dengan penangan hukum bagi korban kekerasan seksual yang menghadapi dualisme kebijakan terkait penangan kekerasan seksual. Harapannya, pemerintah segera mengeluarkan kebijakan menjamin pemenuhan hak-hak korban secara konfrehensif dan terintegrasi, mulai dari pencegahan, penanganan, pemulihan dan pemberdayaan. Supaya korban mendapatkan hak-haknya dan dapat melanjutkan hidupnya seperti semula”.
“Fakta di lapangan, korban kekerasan masih alami kendala untuk dapatkan keadilan dan pemulihan, bahkan restitusi yang harusnya dibayarkan kepada korban sampai saat ini belum dapat terimplementasi dengan baik di seluruh wilayah di Aceh karena tidak adanya aturan lanjutan. Selain itu, masih ada korban dan keluarga yang belum mendapatkan dukungan maksimal dari komunitasnya, bahkan ada pula yang justru mengalami stigma dan pengucilan”, tegas Riswati
Ketua PUSHAM Unsyiah, Khairani Arifin mengingatkan agar pelaku kekerasan seksual mendapat hukuman yang menjerakan dan manusiawi.
“Penghukuman bagi pelaku, bukan tidak penting, tapi harus dengan penghukuman yang manusiawi yang dapat memberi efek jera, tapi dengan tetap memperhatikan prinsip penghukuman yang manusiawi. Selain itu, penting pula dipastikan pelaku pelecehan seksual non-fisil dan pelaku di bawah 14 tahun direhabilitasi khusus agar bisa merubah pola fikir dan sikap sehingga mencegah terjadinya perbuatan yang sama di masa berikutnya. Lalu untuk pemenuhan hak korban, maka harus dipastikan penanganannya dilakukan secara konprehensif dengan mengutamakan upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan bagi korban. Semua ini diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Jadi, salah satu solusi konkrit penghapusan kekerasan seksual yaitu dengan segera bahas dan sahkan RUU ini”, tegasnya. (akbar)