-->

Notification

×

Iklan

Iklan

RAPERPRES TNI Ancaman Picu Trauma Masa Konflik Di Aceh

05 Desember 2020 | Desember 05, 2020 WIB | Last Updated 2020-12-05T13:39:36Z


Habanusantara.net, BANDA ACEH-Berbagai tanggapan ini disampaikan pada webinar nasional tentang “Membedah Rancangan PerPres Tentang Tugas TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme Dari Perspektif Perempuan, Hukum dan HAM” yang diselenggarakan oleh Flower Aceh, KontraS dan Pusham Unsyiah, Senin (1/12/2020). 

Elemen sipil di Aceh khawatirkan Rancangan Peraturan Presiden (RaPerpres) tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme di Indonesia bisa berpotensi mengulang pengalaman konflik masa lalu. Mengingat Rapelpres dinilai membuka ruang militer terlibat di ranah sipil secara lebih luas.

Suraiya Kamaruzzaman mengingatkan tentang sejarah pelaksanaan Operasi Militer di Aceh yang dampaknya masih menyisakan trauma bagi masyarakat di Aceh terutama perempuan.

“Aceh pernah mengalami konflik selama 30 tahun, dimana ada 16 operasi militer yang dilaksanakan, mulai dari Operasi Manggala 1977 sd Tertip Sipil (19 Mai 2005 sd 4 Agustus 2005). Yang paling dikenal adalah Operasi Jaring Merah (DOM) yang terjadi sejak Mai 1989 sd 22 Agustus 1998 yang menyebabkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan pembakaran desa (Rizal Sukma, 2004 dan Harriet Martin, 2006). Dampak dari ragam operasi militer tersebut menimbulkan banyak yang Kehilangan keluarga, Ketakutan, trauma, kehancuran ekonomi, pemiskinan sistematis, kehancuran peradaban yang menyebabkan hari ini Aceh tertingal dalam seluruh aspek pembangunan, misalnya angka kemiskinan nomor 2 se-Sumatera, kualitas guru nomor 29 se-Indonesia, angka stunting lebih dari 30% dan Angka Kematian Ibu (AKI), serta Angka Kematian Anak (AKA) masih tinggi. Padahal saat itu operasi militer dilakukan dengan aturan yang jelas, ada batasan kewenangan, ada batasan waktu pelaksanaan dan batasan wilayah, tetapi tetap berpotensi terjadinya pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan”. 

Lebih lanjut Suraiya memaparkan bahwa dalam Raperpres disebutkan pula aspek penangkalan, kewenangan TNI meliputi pemberdayaan masyarakat, kontra narasi dan kontra pro paganda, dan intelejen. Kalau mengacu pada aturan sebelumnya, kewenangan untuk Penangkalan dan Pemulihan ada di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang sejak beberapa tahun telah membentuk Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) di daerah sebagai mitra strategis untuk pencegahan terorisme melalui Peraturan Kepala BNPT PER - 03/K.BNPT/1/ 2017 yang membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pencegahan”, tegasnya. Pemberantasan terorisme sangat penting, Ia menyampaikan bahwa “mengkritisi Rancangan Perpres ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan upaya pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme, hanya harus ada aturan main yang jelas dan tidak terkesan tumpang tindih dengan kewenangan lembaga yang sudah dibentuk dan memiliki tugas yang sama dalam mengatasi aksi terorisme serta mencegah potensi menyalahi kewenangan dan pelanggaran HAM” tutupnya.

Airlangga Pribadi Kusman, Akademisi Universitas Airlangga mengingatkan pentingnya pembatasan kewenangan sehingga upaya pemberantasan terorisme tidak berpotensi menyalahi kewenangan dan pelanggaran HAM

“RaPerpres terorisme yang memberikan wewenang dan ruang besar kepada aparat pertahanan Negara, yaitu institusi militer dalam penanganan terhadap terorisme dalam batasan yang jelas dapat melanggar norma-norma standard HAM manusia dan standar politik berbasis pada supremasi sipil, serta dapat mengarah pada ancaman politik baru yakni terbentuknya rezim politik dapat membawa berbagai perangkat regulasi dan hegemoninya dari era Suharto dalam kondisi politik post-otoritarianisme”, jelasnya. 

Sementara itu, Feri Kusuma dari KontraS menilai Ranperpres ini dipaksanaan dan sarat muatan politis. 

“RanPerpres tugas TNI dalam mengatasi terorisme ini terlalu dipaksakan dan sarat muatan politis. Sehingga pesan yang tertangkap seperti ada motivasi atau tujuan politik tertentu, yang hendak menjerumuskan TNI dalam imajinasi peran dan fungsi seperti masa lalu-masa sebelum era reformasi dan perkembangan zaman seperti sekarang. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang sering diucapkan oleh Presiden Jokowi yang selalu menyampaikan ingin negara ini maju, dengan program revolusi mental, revitalisasi revolusi mental, reformasi struktural, reformasi hukum, dsbnya. Disamping itu, didalam UUD 45, dan berbagai peraturan lainnya sudah sangat jelas disebutkan bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional, perlu penataan fungsi, peran, tugas, hubungan dan syarat-syarat lainnya setiap komponen dan organ pemerintah. 

Feri menegaskan RanPerpres ini dapat merusak tatanan hukum, mencampuradukkan fungsi antar organ pemerintah, merusak agenda reformasi TNI yang selama ini diupayakan oleh berbagai kalangan baik akademisi, masyarakat, mungkin juga sebagian kalangan internal TNI dan Purnawirawan TNI yang menginginkan TNI menjadi lebih baik sebagaimana dicita-citakan akan menjadi alat pertahanan yang profesional dalam sistem negara demokrasi yang menjunjung supremasi sipil dan prinsip-prinsip HAM. Pasal 2 RanPerpres terkait fungsi TNI yaitu penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Fungsi ini adalah doktrin lama. Dokrin ini dipakai pada era ORBA. Ketika era ORBA, kita tahu ABRI menjadi aktor tunggal dalam menciptakan stabilitas keamanan dan stabilitas sosial politik. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam periode ini ABRI melakukan tiga jenis Operasi Militer yaitu Operasi Penangkalan, Operasi Pemulihan, dan Operasi Penindakan (jenis dan bentuk-bentuk operasi ini dapat ditelusuri). Dampaknya kemudian. Prinsip demokrasi, supremasi sipil, penghormatan terhadap HAM, sama sekali tidak tercipta dengan baik. Bahkan terjadi berbagai pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM dalam berbagai dimensi, bahkan adanya dugaan pelanggaran HAM Berat yang sampai saat ini belum ada akuntabilitas. Seharusnya dalam konteks era sekarang, ketiga fungsi tersebut tidak lagi relevan dignaban dalam semua sektor. UUD, TAP MPR, UU TNI, Polri, BNPT, dan instansa lainnya, dalam berbagai aturan lainnya sudah menetapkan perlunya penataan peran, fungsi, tugas, dan kedudukan masing-masing organ pemerintah”, sebutnya.

Akademisi Universitas Paramadinah, Dr. Phil Siskha Prabhawaningtyas mengingatkan agar “Raperpres dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas, sehingga pelibatan masyarakat untuk menjamin kepercayaan publik menjadi keniscayaan. Selain itu, harus dipastikan tidak menimbulkan dualisme dalam penggunaan instrument Negara, serta memastikan penanggulangan terorisme dapat dilakukan secara efekktif dan efisien”, tegasnya.(akbar)
close