-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Direktur Eksekutif P3KA Minta Pemerintah Pusat Lakukan Penutupan Sementara Bandara SIM

10 April 2020 | April 10, 2020 WIB | Last Updated 2020-04-09T19:17:57Z

Habanusantara.net- Banda Aceh- Mencermati semakin meningkatnya masyarakat Aceh yang berstatus Orang Dalam Pengawas (ODP) di wilayah Provinsi Aceh, Kurniawan S, S.H., LL.M selaku Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA) yang juga merupakan Kepala Pusat Riset Ilmu Pemerintahan (PRIPEM) Universitas Syiah Kuala dan Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala turut angkat bicara.

Dia meminta Pemerintah Pusat dalam hal ini melalui Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI harus segera melakukan penutupan sementara penerbangan  domestik yang bersifat komersil dari dan ke wilayah Provinsi Aceh termasuk penerbangan international, kecuali untuk lalu lintas kebutuhan dasar/barang/pangan (logistik) dan alat medis", sebut Kurniawan S, melalui pres rilis yang dikirim Via WhatShApp medio lalu.

Kurniawan mendorong FORUM BERSAMA (FORBES) Aceh yang beranggotakan para wakil rakyat Aceh yang berada di Senayan (dari unsur DPR RI dan DPD RI) yang diketuai oleh M. Nasir Djamil untuk mendesak  Kementerian Perhubungan RI melalui Direktur Jenderal Perhubungan Udara untuk melakukan penutupan sementara Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) khusus untuk penerbangan domestik dari maupun menuju ke Aceh.

Dikatakan Kurniawan, mengingat, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Posko Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid - 19 dari 23 kabupaten/kota di Wilayah Provinsi Aceh hari minggu (29/3/2020) teridentifkasi masyarakat Aceh yang berada dalam status Orang Dalam Pengawasan (ODP) sebanyak 567 orang.

Padahal 1 hari  sebelumnya yaitu sabtu (28/3/2010) tercatat jumlah ODP sebanyak 416 orang.Artinya, hal ini bermakna bahwa dalam 1 hari terjadi peningkatan ODP dari hari sabtu (28/3/2020) ke hari minggu (29/3/2020) sebanyak 151 orang.

"Jumlah ini belum lagi ditambah dengan mereka yang seharusnya berstatus ODP namun tidak/belum teridentifikasi", tegas Kurniawan.

Sebab jelas koordinator Bidang Hukum dan Manajemen Pengurangan Risiko Bencana pada Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Aceh, ini mengatakan bahwa jalur masuk dan keluar melalui Bandara SIM memiliki kontribusi terjadinya peningkatan masyarakat Aceh yang berstatus ODP.

"Bilamana Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) tidak dilakukan penutupan untuk sementara waktu (khusus untuk penerbangan domestik yang bersifat komersil), maka dapat dipastikan akan terjadinya peningkatan ODP baru.Dan mereka akan menyebar ke berbagai wilayah di Provinsi Aceh.

Dalam situasi ini tentunya sebut Kurniawan, Pemerintah Aceh tidak mampu mengendalikan mobilisasi para ODP tersebut. Sehingga akan menimbulkan para ODP baru di Aceh karena pemerintah Aceh dipastikan tidak dapat mengidentifikasi dan mengendalikannya secara tepatKurniawan merekomendasikan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Udara RI dan juga kepada FORBES Aceh yang diketuaioleh M. Nasir Djamil melakukan penutupan sementara Bandara SIM khusus untuk penerbangan domestik yang bersifat komersil (niaga) angkutan orang dari dan menuju Wilayah Aceh, kecuali penerbangan jasa cargo untuk pasokan logistik serta obat-obatan serta berbagai peralatan/perlengkapan medis tetap dibuka dan berjalan seperti biasanya.

"Hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi semakin meluasnya penyebaran Corona Virus Disease (Covid) - 19 ke berbagai wilayah di Aceh". paparnya.Tambahnya, bilamana Bandara SIM tidak ditutup sementara waktu dikhawatirkan akan ada ratusan ODP baru dalam setiap fligh yang masuk ke wilayah AcehDan para ODP baru tersebut akan menyebar ke berbagai daerah asalnya di wilayah Aceh dan menjadi potensi ancaman bagi keselamatan masyarakat.

"Dalam kondisi tersebut tentunya Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota tidak mampu melakukan pemantauan terhadap aktifitas dan mobilitas para ODP baru tersebut", sebut Kurniawan," terangnya.

Selanjutnya, Kurniawan menambahkan berdasarkan rezim hukum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan membagi "Bencana" ke dalam 3 kategori yaitu Bencana Alam, BencanaNon Alam, dan Bencana Sosial."Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan tersebut, Pandemic COVID - 19 yang saat ini sedang mewabah di hampir seluruh belahan dunia termasuk Indonesia dapat dikategorikan pada BENCANA NON ALAM, yaitu Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal tekhnologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit, sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 1 angka 3", jelas Kurniawan.

Sebagaimana ketentuan pasal 4 nomor 6 Tahun 2018 tentang KekarantinaanKesehatanDimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui penyelenggaraaan kekarantinaan kesehatan.

Menurut Kurniawan, langkah penutupan sementara terhadap Bandara SIM khusus untuk penerbangan domestik yang bersifat komersil (Niaga) untuk angkutan orang setidaknya merupakan manifestasi perwujudan pelaksanaan tanggung jawab Pemerintah dalam hal ini melalui Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI (sebagai pemilik kewenangan dalam penutupan sementara bandara) dalam melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui penyelenggaraaan kekarantinaan kesehatan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan KesehatanSecara yuridis, kata Kurniawan melalui Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengamanatkan bahwa "Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi kedaruratan kesehatan maayarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Pajabat Karantina Kesehatan.Ketentuan Pasal 49 ayat (2) memberikan petunjuk bahwasanya "Karantina rumah, karantina wilayah,  karantina rumah sakit, atau pembatasan sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangam epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, tekhnis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.Menurut Kurniawan, "Pemerintah tidak berani mengambil risiko untuk melakukan Karantina Wilayah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"ini mengingat secara yuridis, selama dilakukannya Karantina Wilayah terhadap suatu wilayah akan menimbulkan tanggung jawab hukum bagi Pemerintah Pusat untuk memenuhi hidup dasar orang serta makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan", jelas Kurniawan.

Dengan demikian, atas dasar alasan keterbatasan anggaran negara dan daerah membuat Pemerintah cenderung memilih "Pembatasan Sosial Berskala Besar" berupa peliburan sekolah  dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehataan sebagai pilihan yang dinilai tepat saat ini.Namun Menurut Kurniawan, pilihan Pembatasan Sosial Berskala Besa yang diambil oleh Pemerintah pusat sebagai bagian dari respon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tidak akan mampu menekan semakin meluasnya Pandemic Covid - 19 di tengah masyarakat

Adapun beberapa alasan tersebut, pertama, kecenderungan masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di Aceh meskipun "Pembatasan Sosial Berskala Besar" berupa peliburan sekolah dan tempat kerja serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, isolasi mandiri serta terhadap berbagai aktifitas sosial lainnya meskipun diberlakukannya jam malam di Aceh namun tetap saja sebagian masyarakat melakukan aktifitas sosial seperti biasanya di siang harinya.

Kedua, Pemberlakuan jam malam di Aceh yang dilakukan dengan SURAT EDARAN BERSAMA dinilai tidak cukup efektif dalam memutus mata rantai penyebaran Covid - 19. Hal ini disebabkan Covid - 19 menyebar tidak mengenal siang maupun malam.

Menurut Kurniawan, "Keselamatan nyawa manusia (rakyat) yang notabenanya sebagai pemberi mandat bagi para penyelenggara negara/pemerintahan adalah diatas segalanya, terlebih lagi bila dibandingkan dengan kepentingan nilai komersil jasa penerbangan orang melalui perhubungan udara."Penutupan sementara  jasa layanan perhubungan udara untuk penerbangan domestik Sultan Iskandar Muda (SIM) merupakan pilihan bijaksana", tegasnya.

Setidaknya sebut Kurniawan Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI untuk melakukan pembatasan penerbangan dari dan menuju Wilayah Provinsi Aceh semisal 1 kali atau 2 kali dalam setiap minggu"Khusus bagi para penumpang pesawat yang menuju (tiba) ke Wilayah Aceh tentunya secara otomatis berstatus ODP, maka keseluruhan mereka dipersyaratkan untuk dilakukan karantina selama 14 hari di suatu tempat yang sudah dipersiapkan berbagai kebutuhannya oleh Pemerintah Aceh dan Setelah melewati masa karantina tersebut dan hasil pemeriksaan dinyatakan negatif, maka baru lah diizinkan keluar dari wilayah karantina dan menuju ke daerah tujuan masing-masing.

Terakhir, dikatakannya, bagi mereka yang selama masa karantina menunjukkan gejala terpapar Covid - 19 akan meningkat status menjadi Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan selanjutnya dilakukan uji sampel serta bilamana hasil test menunjukkan positif terinfeksi Covid - 19, maka dilakukan karantina permanen hingga sembuh. (R)
close