Habanusantara.net- Banda Aceh, Berbagai utusan Negara dari belahan dunia datang ke Aceh untuk
mempelajari proses penyelesaian konflik dan perdamaian yang pernah terjadi di
Nanggroe Aceh bersama Pemerintah Republik Indonesia. Tidak sedikit pula para peneliti
dari berbagai Negara itu datang dan menjadikan Aceh sebagai laboratorium untuk
mempelajari konflik dan perdamaian.
Hal itu disampaikan disampaikan Staf Ahli Gubernur Aceh
Bidang Pemerintahan Hukum dan Politik, Rahmat Fitri saat menghadiri
pembukaan acara pelatihan tersebut yang bertema "Training On Peace
Process" di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Rabu (24/7/2019). Katanya, Perdamaian
di Aceh bisa menjadi model penyelesaian konflik yang terjadi di berbagai negara
di belahan dunia.
Acara yang diikuti oleh delegasi Joint Ceasefire Monitoring
Committe (JMC) Myanmar sengaja datang untuk belajar penyelesaian konflik dan
perdamaian di Aceh. Selama di Aceh, mereka akan mengikuti berbagai pelatihan
proses perdamaian yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia
(KBRI) Yangon. Kegiatan itu bertujuan untuk memperkuat hubungan dan kerjasama
bilateral kedua negara serta memperkuat peran Indonesia dalam mendukung
rekonsiliasi nasional dan proses perdamaian di Myanmar.
Lanjut Rahmat, keberhasilan perdamaian di Aceh belum
seutuhnya selesai. Masih banyak tantangan yang terus dihadapi, seperti masalah
politis, sosial maupun finansial. Oleh sebab itu, kata dia, pihaknya akan terus
memperkuat pemahaman masyarakat tentang makna perdamaian.
"Dengan memahami makna inti perdamaian, kita berharap
Aceh terus berkembang menjadi daerah makmur dengan kesejahteraan masyarakat
yang lebih baik," ujar Rahmat.
Rahmat menuturkan pembangunan perdamaian lebih berorientasi
kepada upaya membuat fondasi semakin kondusif agar pembangunan berjalan lebih
baik lagi. Karena tujuannya kepada pembangunan, sambung dia, maka semangat
memperkuat perdamaian juga terkait dengan kepatuhan terhadap hukum,
pemberdayaan ekonomi, dan menciptakan iklim investasi yang sehat.
"Oleh karena itu, sejalan dengan training on peace
process yang kita laksanakan ini, saya berharap fokus utamanya menitik beratkan
pada penguatan perdamaian untuk pembangunan," kata Rahmat.
Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Iza
Fadri, mengatakan sebagai negara sahabat dan juga negara yang sudah
berpengalaman menyelesaikan konflik, maka Indonesia memiliki peran dalam
mendukung rekonsiliasi nasional dan proses perdamaian di Myanmar.
Training On Peace Proses, kata Iza, bertujuan untuk
menyediakan platform peningkatan kapasitas di bidang negoisasi proses
perdamaian, resolusi konflik, dan program rekontruksi pasca konflik. Pelatihan
itu, sambung dia, juga merupakan bagian dari upaya Indonesia dalam membantu
penyelesaian isu di Rakhine State serta daerah lainnya seperti Kachin State,
Chin Satate, dan Shan State yang terus menerus dilanda konflik.
Iza mengatakan, proses perdamaian di Aceh telah menjadi
kisah sukses dan dapat jadi pembelajaran bagi negara lain. "Sejak
penandatanganan Nota Kesepahaman tersebut, semua pihak terus membangun kerja
sama yang konstruktif untuk perdamaian berkelanjutan di Aceh. Sebagai model
yang baik bagi resolusi konflik, proses perdamaian di Aceh menawarkan pelajaran
yang sangat berharga bagi negara yang terkena dampak konflik, termasuk
Myanmar," ujar dia.
Kegiatan pelatihan yang berlangsung selama 24-25 Juli
tersebut diikuti oleh 10 delegasi Joint Ceasefire Monitoring Committe (JMC)
Myanmar yang dipimpin oleh U Ko Ko Gyi, Vice Chairperson of JMC Union. Selama 2
hari itu peserta akan berdiskusi bersama narasumber dari Aceh yang sarat
pengalaman tentang konflik dan perdamaian. Peserta juga akan mengunjungi tempat
pemberdayaan ekonomi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta
berkunjung ke Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, selaku pimpinan adat
yang dituakan.