-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Aceh Bisa Menjadi Model Penyelesaian Konflik di Berbagai dari Berbagai Negara

24 Juli 2019 | Juli 24, 2019 WIB | Last Updated 2019-07-24T14:47:23Z


Habanusantara.net- Banda Aceh, Berbagai utusan Negara dari belahan dunia datang ke Aceh untuk mempelajari proses penyelesaian konflik dan perdamaian yang pernah terjadi di Nanggroe Aceh bersama Pemerintah Republik Indonesia. Tidak sedikit pula para peneliti dari berbagai Negara itu datang dan menjadikan Aceh sebagai laboratorium untuk mempelajari konflik dan perdamaian.

Hal itu disampaikan disampaikan Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pemerintahan Hukum dan Politik, Rahmat Fitri saat menghadiri pembukaan acara pelatihan tersebut yang bertema "Training On Peace Process" di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Rabu (24/7/2019). Katanya, Perdamaian di Aceh bisa menjadi model penyelesaian konflik yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia.

Acara yang diikuti oleh delegasi Joint Ceasefire Monitoring Committe (JMC) Myanmar sengaja datang untuk belajar penyelesaian konflik dan perdamaian di Aceh. Selama di Aceh, mereka akan mengikuti berbagai pelatihan proses perdamaian yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon. Kegiatan itu bertujuan untuk memperkuat hubungan dan kerjasama bilateral kedua negara serta memperkuat peran Indonesia dalam mendukung rekonsiliasi nasional dan proses perdamaian di Myanmar.

Lanjut Rahmat, keberhasilan perdamaian di Aceh belum seutuhnya selesai. Masih banyak tantangan yang terus dihadapi, seperti masalah politis, sosial maupun finansial. Oleh sebab itu, kata dia, pihaknya akan terus memperkuat pemahaman masyarakat tentang makna perdamaian.

"Dengan memahami makna inti perdamaian, kita berharap Aceh terus berkembang menjadi daerah makmur dengan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik," ujar Rahmat.


Rahmat menuturkan pembangunan perdamaian lebih berorientasi kepada upaya membuat fondasi semakin kondusif agar pembangunan berjalan lebih baik lagi. Karena tujuannya kepada pembangunan, sambung dia, maka semangat memperkuat perdamaian juga terkait dengan kepatuhan terhadap hukum, pemberdayaan ekonomi, dan menciptakan iklim investasi yang sehat.

"Oleh karena itu, sejalan dengan training on peace process yang kita laksanakan ini, saya berharap fokus utamanya menitik beratkan pada penguatan perdamaian untuk pembangunan," kata Rahmat.

Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Iza Fadri, mengatakan sebagai negara sahabat dan juga negara yang sudah berpengalaman menyelesaikan konflik, maka Indonesia memiliki peran dalam mendukung rekonsiliasi nasional dan proses perdamaian di Myanmar.

Training On Peace Proses, kata Iza, bertujuan untuk menyediakan platform peningkatan kapasitas di bidang negoisasi proses perdamaian, resolusi konflik, dan program rekontruksi pasca konflik. Pelatihan itu, sambung dia, juga merupakan bagian dari upaya Indonesia dalam membantu penyelesaian isu di Rakhine State serta daerah lainnya seperti Kachin State, Chin Satate, dan Shan State yang terus menerus dilanda konflik.

Iza mengatakan, proses perdamaian di Aceh telah menjadi kisah sukses dan  dapat jadi pembelajaran bagi negara lain. "Sejak penandatanganan Nota Kesepahaman tersebut, semua pihak terus membangun kerja sama yang konstruktif untuk perdamaian berkelanjutan di Aceh. Sebagai model yang baik bagi resolusi konflik, proses perdamaian di Aceh menawarkan  pelajaran yang sangat berharga bagi negara yang terkena  dampak konflik, termasuk Myanmar," ujar dia.



Kegiatan pelatihan yang berlangsung selama 24-25 Juli tersebut diikuti oleh 10 delegasi Joint Ceasefire Monitoring Committe (JMC) Myanmar yang dipimpin oleh U Ko Ko Gyi, Vice Chairperson of JMC Union. Selama 2 hari itu peserta akan berdiskusi bersama narasumber dari Aceh yang sarat pengalaman tentang konflik dan perdamaian. Peserta juga akan mengunjungi tempat pemberdayaan ekonomi mantan kombatan Gerakan  Aceh Merdeka (GAM) serta berkunjung ke Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, selaku pimpinan adat yang dituakan.


close