-->

Notification

×

Iklan

Iklan

PSHK Gelar Diskusi Publik Bertajuk Reformasi Regulasi Penataan Kelembagaan Daerah

05 April 2019 | April 05, 2019 WIB | Last Updated 2019-04-05T05:18:00Z

HN - Banda Aceh-Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjsama dengan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala sebagai mitra lokal, dan International Development Law Organization (IDLO) melalui Program Rule of Law Indonesia, menggelar diskusi publik, bertajuk "Reformasi Regulasi Penataan Kelembagaan di Daerah" di Kryriar Muraya Hotel, Banda Aceh, Kamis (04/04/19)

Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber, Soraya Mumtaz, S.H.,M.H, Kementerian PPN/BAPPRNAS RI.,Prof. Dr.Ilyas, S.H..M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.,
 Rizky Argama, S.H., LL.M (Direktur Riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Muhammad Junaidi, S.H., M.H (Perwakilan Pemerintah Aceh - Biro Hukum Setda Aceh).

Diskusi Publik ini secara langsung dibuka oleh Rektor Universitas Syiah Kuala dalam hal ini diwakili oleh Dr. Ir. Agussabti selaku Wakil Rektor II Universitas Syiah Kuala. 

Kepala Laboratorium dan Klinis Hukum - dab Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala,  Kurniawan S, S.H., LL.M, menyebutkan bahwa tujuan diselenggarakannya diskusi publik tersebut  dalam rangka mendukung BAPPENAS RI dalam merumuskan reformasi regulasi agar dapat masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 - 2024.

Diharapkan, melalui diskusi publik tersebut dapat menampung masukan dari para pemangku kepentingan yang berada di daerah khususnya di Aceh terkait strategi reformasi regulasi dan pembentukan lembaga regulasi nasional.

"Diskusi Publik tersebut juga dilaksanakan agar para pemangku kepentingan dapat memahami permasalahan dan  strategi penyelesaian regulasi dalam berbagai aspek terutama kelembagaan, memberi masukan berupa pemikiran, data atau informasi demi penyempurnaan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), serta meningkatkan perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap akan arti pentingnya reformasi regulasi di Indonesia termasuk pada level daerah," ujar Kurniawan. 

Kurnia menyebutkan,  para peserta yang diundang dan hadir dalam kegiatan Diskusi Publik tersebut dari berbagai unsur/komponen yakni unsur pemerintah (Lembaga Vertikal Di Aceh) seperti P3KHAN - LAN Aceh, Kanwil Kementerian Hukum dan Has Asasi Manusia (Kemenkumham Aceh), dan Kepala Ombudsman RI Kantor Wilayah Aceh, unsur Kelembagaan Parlemen , Para Kenya Banleg (DPRA, dan DPRK di Aceh Besar, DRPK B. Aceh, dan DPRK Sabang), unsur Pemerintah Aceh dan Unsur Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, Pemerintah Kota Sabang, dan Unsur Pemerintah Kota Banda Aceh yang meliputi sejumlah dinas tekhnis terkait, unsur Akademisi; Unsur Lembaga Riset, unsur CSO/Lembaga Swadaya Masyarakat/Asosiasi/Forum serta  unsur tokoh masyarakat, dan unsur advokat.

Selanjutnya, Soraya Mumtaz, SH, MH, menyebutkan bahwa regulasi yang ada di Indonesia saat ini mengalami OBESITAS atau OVER REGULASI.

"Saat ini tidak satu kementerian pun mengetahui secara persis jumlah peraturan yang telah dikeluarkan dan masih berlaku", sebut Soraya.

Menurutnya, terlalu banyaknya regulasi yang telah dikeluarkan berpotensi terjadinya konflik regulasi sehingga berimplikasi terhambatnya hampir sebagian besar program pembangunan yang ada di Indonesia khususnya di daerah.

Selain itu, juga banyaknya peraturan yang telah dikeluarkan telah melupakan peraturan yang masih berlaku dan mana peraturan yang sudah dicabut maupun yang sudah diubah.

Lebih lanjut Rizky Argama, dalam presentasinya menyebutkan bahwa berdasarkan riset yang telah dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peraturan /regulasi terbanyak di dunia sehingga menyebabkan tumpang tindih (over lapping) antara peraturan baik secara vertikal maupun horisontal, dan menimbulkan kebingungan bagi pada penyelenggara negara maupun penyelenggara pemerintahan di daerah karena mengatur ketentuan norma yang berbeda terhadap pengaturan hal yang sama dalam satu jenis peraturan yang sama.

Menurut Rizky Argama, "Penyelenggara negara termasuk pemerintahan di daerah seyogyanya tidak meletakkan pada kuantitas peraturan yang telah dibentuk sebagai tolak ukur kesuksesan pemerintahan, melainkan juga harus melihat aspek kualitas dari peraturan yang akan maupun yang telah dibentuk.

Sementara itu Dekan Fakultas Hukum Universitas SyiahKuala, Prof. Dr. Ilyas, S.H., M.Hum, dalam paparannya menyebutkan bahwa terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam menyusun suatu regulasi, pertama, seyogyanya dalam penyusunan suatu regulasi harus memperhatikan ketepatan materi muatan dari jenis peraturan yang akan dibentuk sehingga suatu pengaturan norma yang seharusnya menjadi materi muatan suatu UU sebagai peraturan bersifat legislasi jangan sempat dimuat dalam jenis peraturan berupa Peraturan Pemerintah (PP).

Begitu juga sebutnya, dengan suatu pengaturan norma yang seharusnya menjadi materi muatan suatu Peraturan Daerah (Perda) sebagai peraturan yang bersifat legislasi jangan sempat dimuat dalam jenis peraturan berupa non legislasi seperti Peraturan Kepala Daerah (Perkada) seperti Pergub, Perbub atau Perwal.

Kedua, menurut Ilyas, para pembentuk  hukum seyogyanya haruslah memperhatikan aspek ketepatan/akurasi lembaga pembentuk hukum/regulasi yang akan dibentuk, dan  ketiga, para pembentuk hukum haruslah memperhatikan aspek proses dalam penyusunan suatu produk hukum yaitu, melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan secara inklusif dan terintegrasi.

Perwakilan pemerintah Aceh, Mohammad Junaidi, SH, M.H, menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh di bawah rezim UU Otonomi Khusus Aceh yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah banyak mendapatkan kewenangan Khusus yang menjadi pembeda dengan daerah lainnya di Indonesia, termasuk dalam hal mengatur sesuatu hal yang diberikan kekhususan kepada Aceh untuk selanjutnya diatur dengan/diatur dalam Qanun Aceh/Qanun kabupaten/kota.

Junaidi, mengatakan berdasarkan rezim hukum Otonomi Khusus (UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) yang dimiliki oleh Aceh tersebut dimungkinkan bagi Aceh untuk melakukan pengaturan yang berbeda dalam Qanun Aceh tentang sesuatu hal yang diberikan kekhususan oleh Pemerintah.

"Hanya saja saat ini yang menjadi tantangan terbesar bagi Pemerintah Aceh dalam melakukan Reformasi Regulasi adalah terbatasnya jumlah personil di Biro Hukum termasuk di berbagai Bagian Hukum yang ada di hampir sebagian besar kab/kota di wilayah Provinsi Aceh, serta SDM di Biro Hukum dan Bagian Hukum di hampir seluruh kab/kota yang belum terdistribusi secara merata," pungkas Junaidi.(**)
close