Hemat saya, secara yuridis eksekutif tidak diberi wewenang untuk "melakukan penilaian hukum" apakah suatu pemilihan suatu KELEMBAGAAN ISTIMEWA di Aceh seperti MAA bertentangan dengan prosedur/mekanisme pemilihan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, meskipun Eksekutif diberi wewenang untuk MELANTIK.
Secara yuridis kewenangan melakukan "Penilaian Hukum" hanya dimiliki oleh hakim pada Lembaga Peradilan (MA dan MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus apakah suatu UU bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (Kewenangan MK dlm Melakukan judicial Review) atau dalam memeriksa, mengadili, dan memutus apakah suatu peraturan perundang-undangan yg hirarkinya berada di bawah UU (PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kab/Kota) bertentangan atau tidak dengan UU (kewenangan Uji Materil oleh MK), termasuk PTUN.
Kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada Eksekutif hanya dalam konteks MELANTIK, tidak dalam konteks "melakukan penilaian hukum".
Sehingga karenanya, hemat saya seyogyanya Gubernur melantik Ketua MAA terpilih dengan Keputusan (besluid/beschikking).
Permasalahan bahwa ada "orang perorangan" atau suatu "badan hukum perdata" yg memiliki legal standing yg merasa adanya kerugian yg diderita sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Gubernur (beschikking) tentang penetapan Ketua MAA terpilih sebagai Ketua MAA periode, selanjutnya pihak yg merasa dirugikan dimaksud dapat melakukan gugatan ke PTUN dengan alasan/dasar gugatan (posita) bahwa ada dugaan prosedur sebagaimana yg diatur dalam peraturan perundang-undngan yg dilanggar dalam pemilihan Ketua MAA.
Selanjutnya, Hakim di PTUN lah yang akan melakukan "penilaian hukum" apakah pemilihan Ketua MAA tersebut bertentangan dengan prosedur/mekanisme sebagaimana yg diatur dalam peraturan perundang-undnagan (dalam hal ini Qanun Provinsi NAD No 3 Tahun 2004 tentang SOTK MAA).
Prinsip VOORMOUDEN VAN RECHMATIGHEID (setiap tindakan/aktifitas yang dilakukan/telah dialukan/diambil wajib dipandang benar sebelum dinyatakan batal oleh badan peradilan yg diberi wewenang) tetaplah harus tegak dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Bilamana Eksekutif melakukan peran MENILAI HUKUM dalam kasus ini justru yg terjadi malah PEMERINTAHAN MENJADI GADUH seperti sebelumnya.
Selaku akademisi hukum saya hanya menyarankan agar Plt Gubernur mengambil pengalaman di masa Irwandi Yusuf.
Semua proses yg telah dilalui dalam pemilihan Ketua MAA di dalam MUBES, maka Asas VOORMOUDEN VAN RECHMATIGHEID tersebut mengikat para penyelenggara pemerintahan tanpa terkecuali termasuk eksekutif. Eksekutif dalam hal ini tidak diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan "penilaian hukum" terhadap proses MUBES dalam melakuka pemilihan Ketua lembaga istimewa (dalam hal ini di MAA).
Perlu mendapat perhatian bersama bahwasanya peraturan dengan Jenis "PERATURAN GUBERNUR" merupakan produk hukum yang bersifat NON LEGISLASI yaitu produk hukum yang dalam proses pembentukannya oleh Gubernur tanpa dipersyaratkan memerlukan persetujuan lembaga parlemen.
Dalam teori dan ilmu perundang-undangan termasuk penjelasan Prof. Dr. Jimly Assidiqie (bukunya yang berjudul Ilmu Peeundang-undangan) disebutkan bahwa PRODUK HUKUM yang bersifat NON LEGISLASI (seperti Pergub, Perbup, Perwal, Permen, Peraturan Badan/Komisi dan peraturan lainnya yang sejenis) merupakan PERATURAN PELAKSANAAN (Delegated Legislation).
Sebagai sebuah "Peraturan Pelaksanaan", maka Peraturan yang bersifat "Non Legislasi" tersebut (termasuk Peraturan Gubernur Aceh dalam kasus ini) hanya dapat dibentuk oleh pembentuknya bilamana mendapatkan/diberi kewenangan secara atribusi (pemberian oleh peraturan perundang-undangan) oleh Jenis peraturan induk yang hirarkinya lebih tinggi (dalam kasus ini Qanun Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tentang SOTK MAA dan Qanun Aceh Nomor 18 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat). Tanpa adanya pemberian kewenangan dari Qanun Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tersebut untuk diatur lebih lanjut mengenai Tata Cara Pemilihan Ketua diatur dengan Peraturan Gubernur, maka secara hukum Gubernur tidak dibenarkan mengeluarkan Peraturan Gubernur yang mengatur tentang Tata Cara Pemilihan tersebut, kecuali ditentukan sebaliknya.
Hemat saya kalau memang di dalam Qanun Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, SOTK MAA maupun Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat belum mengatur tentang Mekanisme/Tata Cara Pemilihan sebagaimana yang dikatakan oleh Eksekutif via Biro Hukum, seyogyanya yang perlu didorong adalah dulakukannya Perubahan terhadap Qanun Aceh tersebut bukannya Eksekutif berencana mengeluarkan Pergub untuk mengatur mengenai Prosedur/Tata Cara mengenai pemilihan ketua MAA, kecuali Qanun Aceh tersebut memberi atribusi dan mengamanatkan pengaturan tersebut dalam bentuk Pergub.
Berdasarkan amanat UU No. 11 Tahun 2006 JJo Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat bahwa lembaga istimewa Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan lembaga yang bersifat otonom dan independen. Oleh karenanya secara yuridis, pengisian jabatan beserta kepengurusan di dalam MAA ditentukan berdasarkan MUBES. Gubernur secara hukum hanya diberi wewenang secara hukum untuk melakukan "pengukuhan".
Bilamana Eksekutif menilai bahwasanya Qanun Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja MAA maupun Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat belum mengatur prosedur tekhnis mengenai tata cara pemilihan dan pengisian jabatan di lembaga MAA, maka yang perlu didorong oleh Eksekutif adalah berkoordinasi dengan Legislatif untuk dilakukannya perubahan terhadap Qanun Provinsi NAD No 3 Tahun 2004 Aceh tersebut agar dapat memasukkan pengaturan mengenai tata cara pemilihan dan pengisian kepengurusan MAA bukannya mempersiapkan Peraturan Gubernur (Pergub).
Adapun untuk sementara waktu menunggu Revisi Qanun Aceh tersebut rampung, bilamana masa kepengurusan MAA serta MPA, dan Baitul Mal Aceh saat ini sudah berakhir, maka ketiga lembaga istimewa tersebut (khususnya MAA) sebagai lembaga istimewa yang bersifat otonom dan independen soulsinya adalah dilakukannya MUSLUB untuk memilih dan menunjuk seseorang sebagai Pelaksana Tugas, bukannya justru EKSEKUTIF menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) MAA termasuk Plt MPA, dan Plt Baitul Mal.
Keberadaan MUBES dan MUSLUB merupakan forum tertinggi untuk mengambil keputusan di internal MAA, dan MPA.
Secara hukum, Kewenangan penuh EKSEKUTIF di MAA, dan MPA adalah hanya dalam hal pengangkatan dan pemberhentian KEPALA SEKRETARIAT, sementara kewenangan EKSEKUTIF pada Kepengurusan Komisioner MAA dan MPA hanya melakukan PENGUKUHAN.
Hemat saya, penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) MAA, dan MPA oleh EKSEKUTIF (bukan berdasarkan Mubes/Muslub) secara hukum merupakan wujud intervensi dan menyebabkan hilangnya kemandiran (otonom) dan independensi MAA sebagai lembaga yang bersifat otonom dan mandiri sebagaimana yang telah dijamin oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Jo Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Secara filosofis dan yuridis, keberadaan lembaga istimewa di Aceh seperti MAA, MPU, dan MPA termasuk BAITUL MAL sebagai bagian dari manifestasi kekhususan Aceh sebagaimana yang diatur dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya dicabut dengan berlakunya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada hakikatnya merupakan bersifat Otonom dan Independen.
Oleh karenanya mekanisme pengisian jabatan dan kepengurusan pada lembaga istimewa sebagaimana tersebut di atas (termasuk MAA) berbeda dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara langsung berada dalam sub ordinasi Eksekutif.
Pengisian jabatan pada SKPD secara yuridis kewenangan pengangkatan dan pemberhentiannya sepenuhnya berada pada Eksekutif termasuk dalam melakuka pengukuhan/pelantikan. Namun tidak demikian halnya dalam hal pengisian jabatan dan kepengurusan pada lembaga istimewa yang ada di Aceh seperti MAA, MPA, MPU, dan lainnya.(***)
Penulis:
Kurniawan S, S.H., LL.M
(Akademisi Hukum Univ. Syiah Kuala, Ketua Pusat Riset Ilmu Pemerintahan (PRIP) Univ. Syiah Kuala, dan Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA)