HN-Banda Aceh-Indonesia berada pada jalur gempa bumi paling aktif di dunia akibat pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Samudera Indo-Australia Lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Samudera Pasifik. Posisi ini menyebabkan Indonesia mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan bervariasi.
Pemerintah sering mengabaikan potensi bencana dalam melakukan pembangunan. Sebagai salah satu contoh, Pemerintah Aceh dengan Keputusan Gubemur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPKKH/2017 telah memberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Rutan dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) seluas ±4.407 Ha Atas Nama PT. Kamirzu di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Aceh Timur. Proyek PLTA 443MW yang direncanakan dibangun di kecamatan Pining ini akan menggunakan bendungan setinggi 193,5 m di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Berdasarkan kondisi diatas, Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Aceh bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) didukung Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertema "Menelaah Kawasan Rentan Bencana di Provinsi Aceh; Studi Kasus Rencana Pembangunan PLTA di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)".
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini Dr. Muksin Umar (Ahli Gempa/Ketua Himpunan Ahli Geofisika Indonesia/HAGI, Peneliti TDMRC Universitas Syiah Kuala) yang mempresentasikan Kajian Kerentanan Bencana Geologi di Provinsi Aceh dan Riswan Zein (Manager GIS Specialist Yayasan Ekosistem Lestari/YEL)
FGD diselenggarakan pada Selasa (26/2/2019) bertempat di Aula BPBA Banda Aceh.
Muksin Umar, menjelaskan tentang zona subduksi di Indonesia sehingga Indonesia menjadi daerah rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, erupsi dan bencana tektonik lainnya.
Sejumlah sesar melintasi wilayah Indonesia dan berada dalam kondisi yang sangat aktif sehingga bisa menimbulkan gempa diatas 5 SR.
Walaupun frekuensi bencana tsunami dan gempa bumi relatif sedikit, namun kedua jenis bencana ini memakan korban yang paling besar diantara bencana alam lainnya.
Pembangunan di Indonesia apalagi di daerah rawan bencana seperti Aceh wajib mempertimbangkan aspek pengurangan rIsiko bencana.
Pembangunan dalam KEL seharusnya perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang aspek kebencanaan, mengingat KEL merupakan lanskap langka yang membentang dari provinsi Aceh hingga Sumatera Utara dan menjadi salah satu hamparan hutan hujan tropis utuh yang paling penting.
Muksin juga mengatakan timnya baru saja memetakan sesar baru di daerah Aceh Tenggara yang mereka namakan Sesar Nisam.
"Lokasi pembangunan PLTA Tampur dekat dengan lokasi sesar aktif,"kata Mukhsin yang merupakan lulusan Jerman ini. Jadi resiko terjadinya gempa perlu diperhitungkan secara baik dalam pembangunan PLTA.
Selain bencana yang disebutkan di atas, bencana yang paling sering terjadi di Indonesia adalah banjir dan tanah longsor.
"Ada trend peningkatan banjir di Aceh, juga berlaku di Indonesia,"ujarnya. Banjir berkaitan dengan pembangunan PLTA mengingat jumlah air yang ditampung sangatlah raksasa dimana jika terjadi kebocoran akibat gempa maka akan mengancam keselamatan penduduk di daerah bawahnya, dalam hal ini adalah penduduk Tamiang.
Sementara Riswan Zein memaparkan tentang karakteristik fisik dan potensi ancaman bencana di Rencana PLTA Tampur-I. Pembangunan pembangkit listrik ini akan menenggelamkan beberapa desa dan dapat berpotensi meningkatkan kekeringan di daerah hilir. "Untuk menggenangi air seluas ini butuh waktu satu tahun, dimana air akan ditahan dalam bendungan. Penduduk di hulu akan kekurangan air,"jelasnya.
Pada sesi pembukaan, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Teuku Ahmad Dadek mengatakan bahwa pada prinsipnya BPBA sangat mendukung kegiatan-kegiatan organisasi manapun yang ingin mengkaji dan mendalami berbagai hal menyangkut isu kebencanaan. Hal ini penting sebagai bagian upaya kita untuk melakukan mitigasi dan sosialisasi kepada masyarakat sehingga kita mampu melakukan upaya pengurangan risiko apabila bencana tersebut terjadi. "Dan kami (BPBA) dalam tahun 2019 ini telah mempersiapkan 6 (enam) kali agenda diskusi kebencanaan yang bisa diajukan ke pihak kami", tegas Dadek.
TM Zulfikar, Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan juga Wakil Ketua Forum PRB Aceh kepada media menjelaskan bahwa rencana Pembangunan PLTA Tampur-1 sebaiknya di pikirkan kembali matang-matang, jika memang tidak layak sebaiknya dibatalkan saja.
Jelas sekali bahwa pembangunan proyek tersebut ternyata bukan hanya mengancam masyarakat jika terjadi bencana, bahkan di awal saja saat proses penggenangan bendungan selama setahun diyakini akan terjadi krisis air di masyarakat sekitar, belum lagi jika terjadi gempa bumi dan bendungan tersebut pecah sangat tak terbayangkan oleh kita bagaimana besarnya daya rusak yang ada.
Selain itu seluruh satwa kunci yang dilindungi di wilayah KEL bisa dipastikan akan terancam punah, karena di daerah tersebut hidup berbagai spesies kunci seperti gajah, harimau, orangutan dan badak.
Kegiatan FGD yang dipandu oleh Nasir Nurdin, Ketua Forum PRB Aceh dihadiri oleh berbagai kalangan antara lain Dinas Pengairan Aceh, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas ESDM Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, kalangan akademisi, NGO/LSM, Jurnalis serta institusi terkait lainnya.
Pada akhir sesi diharapkan agar proses advokasi dan pengawalan terhadap berbagai pembangunan di Aceh terus dilakukan. Pada berbagai kegiatan pembangunan yang ada, selain AMDAL juga perlu dilakukan kajian bencana secara detail dan komprehensif, sehingga jangan sampai hasil pembangunan nantinya justru tidak dapat dinikmati oleh masyarakat, tapi sebaliknya semakin memperbesar risiko bencana.
Oleh karena itu BPBA bersama Forum PRB dan komunitas masyarakat lainnya termasuk swasta perlu terus melakukan sinergi sehingga berbagai rencana kerja Pemerintah dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. (*)
Pemerintah sering mengabaikan potensi bencana dalam melakukan pembangunan. Sebagai salah satu contoh, Pemerintah Aceh dengan Keputusan Gubemur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPKKH/2017 telah memberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Rutan dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) seluas ±4.407 Ha Atas Nama PT. Kamirzu di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Aceh Timur. Proyek PLTA 443MW yang direncanakan dibangun di kecamatan Pining ini akan menggunakan bendungan setinggi 193,5 m di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Berdasarkan kondisi diatas, Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Aceh bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) didukung Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertema "Menelaah Kawasan Rentan Bencana di Provinsi Aceh; Studi Kasus Rencana Pembangunan PLTA di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)".
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini Dr. Muksin Umar (Ahli Gempa/Ketua Himpunan Ahli Geofisika Indonesia/HAGI, Peneliti TDMRC Universitas Syiah Kuala) yang mempresentasikan Kajian Kerentanan Bencana Geologi di Provinsi Aceh dan Riswan Zein (Manager GIS Specialist Yayasan Ekosistem Lestari/YEL)
FGD diselenggarakan pada Selasa (26/2/2019) bertempat di Aula BPBA Banda Aceh.
Muksin Umar, menjelaskan tentang zona subduksi di Indonesia sehingga Indonesia menjadi daerah rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, erupsi dan bencana tektonik lainnya.
Sejumlah sesar melintasi wilayah Indonesia dan berada dalam kondisi yang sangat aktif sehingga bisa menimbulkan gempa diatas 5 SR.
Walaupun frekuensi bencana tsunami dan gempa bumi relatif sedikit, namun kedua jenis bencana ini memakan korban yang paling besar diantara bencana alam lainnya.
Pembangunan di Indonesia apalagi di daerah rawan bencana seperti Aceh wajib mempertimbangkan aspek pengurangan rIsiko bencana.
Pembangunan dalam KEL seharusnya perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang aspek kebencanaan, mengingat KEL merupakan lanskap langka yang membentang dari provinsi Aceh hingga Sumatera Utara dan menjadi salah satu hamparan hutan hujan tropis utuh yang paling penting.
Muksin juga mengatakan timnya baru saja memetakan sesar baru di daerah Aceh Tenggara yang mereka namakan Sesar Nisam.
"Lokasi pembangunan PLTA Tampur dekat dengan lokasi sesar aktif,"kata Mukhsin yang merupakan lulusan Jerman ini. Jadi resiko terjadinya gempa perlu diperhitungkan secara baik dalam pembangunan PLTA.
Selain bencana yang disebutkan di atas, bencana yang paling sering terjadi di Indonesia adalah banjir dan tanah longsor.
"Ada trend peningkatan banjir di Aceh, juga berlaku di Indonesia,"ujarnya. Banjir berkaitan dengan pembangunan PLTA mengingat jumlah air yang ditampung sangatlah raksasa dimana jika terjadi kebocoran akibat gempa maka akan mengancam keselamatan penduduk di daerah bawahnya, dalam hal ini adalah penduduk Tamiang.
Sementara Riswan Zein memaparkan tentang karakteristik fisik dan potensi ancaman bencana di Rencana PLTA Tampur-I. Pembangunan pembangkit listrik ini akan menenggelamkan beberapa desa dan dapat berpotensi meningkatkan kekeringan di daerah hilir. "Untuk menggenangi air seluas ini butuh waktu satu tahun, dimana air akan ditahan dalam bendungan. Penduduk di hulu akan kekurangan air,"jelasnya.
Pada sesi pembukaan, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Teuku Ahmad Dadek mengatakan bahwa pada prinsipnya BPBA sangat mendukung kegiatan-kegiatan organisasi manapun yang ingin mengkaji dan mendalami berbagai hal menyangkut isu kebencanaan. Hal ini penting sebagai bagian upaya kita untuk melakukan mitigasi dan sosialisasi kepada masyarakat sehingga kita mampu melakukan upaya pengurangan risiko apabila bencana tersebut terjadi. "Dan kami (BPBA) dalam tahun 2019 ini telah mempersiapkan 6 (enam) kali agenda diskusi kebencanaan yang bisa diajukan ke pihak kami", tegas Dadek.
TM Zulfikar, Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan juga Wakil Ketua Forum PRB Aceh kepada media menjelaskan bahwa rencana Pembangunan PLTA Tampur-1 sebaiknya di pikirkan kembali matang-matang, jika memang tidak layak sebaiknya dibatalkan saja.
Jelas sekali bahwa pembangunan proyek tersebut ternyata bukan hanya mengancam masyarakat jika terjadi bencana, bahkan di awal saja saat proses penggenangan bendungan selama setahun diyakini akan terjadi krisis air di masyarakat sekitar, belum lagi jika terjadi gempa bumi dan bendungan tersebut pecah sangat tak terbayangkan oleh kita bagaimana besarnya daya rusak yang ada.
Selain itu seluruh satwa kunci yang dilindungi di wilayah KEL bisa dipastikan akan terancam punah, karena di daerah tersebut hidup berbagai spesies kunci seperti gajah, harimau, orangutan dan badak.
Kegiatan FGD yang dipandu oleh Nasir Nurdin, Ketua Forum PRB Aceh dihadiri oleh berbagai kalangan antara lain Dinas Pengairan Aceh, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas ESDM Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, kalangan akademisi, NGO/LSM, Jurnalis serta institusi terkait lainnya.
Pada akhir sesi diharapkan agar proses advokasi dan pengawalan terhadap berbagai pembangunan di Aceh terus dilakukan. Pada berbagai kegiatan pembangunan yang ada, selain AMDAL juga perlu dilakukan kajian bencana secara detail dan komprehensif, sehingga jangan sampai hasil pembangunan nantinya justru tidak dapat dinikmati oleh masyarakat, tapi sebaliknya semakin memperbesar risiko bencana.
Oleh karena itu BPBA bersama Forum PRB dan komunitas masyarakat lainnya termasuk swasta perlu terus melakukan sinergi sehingga berbagai rencana kerja Pemerintah dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. (*)