Habanusantara.net, Banda Aceh, Masyarakat Aceh kembali disuguhkan dengan peristiwa buruk terjadinya pelecehan seksual di lingkungan birokrasi Pemerintah Aceh. Jika selama ini hal demikian kerap terjadi di gampong-gampong, di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat ibu kota, tapi kali ini perbuatan demikian justru terjadi di jantung birokasi di bawah kendali Pemerintah Aceh.
Sebagaimana pemberitaan sebelumnya di sejumlah media massa di Aceh, tindakan yang tidak wajar itu terjadi di Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
“Apa yang terjadi di BRA yang merupakan tindakan yang memalukan. Karena itu, tidak cukup hanya memberhentikan pelaku tetapi juga mesti ada upaya hukum secara jelas agar dapat memberikan pembelajaran dan efek jera” jelas Dewan Pengurus Flower Aceh, Abdullah Abdul Muthalieb pada media ini Jumat 8/1/2021.
Menurutnya, apabila kasus ini tidak ditangani secara tuntas dan adil maka akan menjadi preseden buruk ke depan. Apa yang terjadi di BRA bukan tidak mungkin selama ini juga terjadi di SKPA-SKPA yang lain, sangat terbuka kemungkinan hal demikian juga menimpa pegawai perempuan, apalagi yang non-PNS.
“Pegawai perempuan yang non PNS atau tenaga kontrak itu jauh lebih rentan mengalami kekerasan, termasuk pelecehan seksual karena relasi kuasanya yang jauh timpang, apalagi pelakunya pejabat, sang atasan langsung dari korban” sebut Abdullah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati menambahkan bahwa tindakan pelecehan seksual itu tidak mudah bagi korban melaporkannya. Karena itu, perlu tindakan nyata Pemerintah Aceh kepada korban.
“Kami memberikan apresisasi kepada perempuan yang menjadi korban dan melaporkan kasus ini ke atasannya. Ini sebuah bentuk penggunaan haknya yang mestinya dilindungi oleh negara, bukan kemudian korban kembali dikorban lagi oleh kekuasaan” jelas Riswati.
Namun, disayangkan kebijakan Ketua BRA yang malah memberhentikan korban. ”Sang pelaku diusulkan diberhentikan dan kemudian digantikan itu memang sebuah langkah yang tepat dan sudah seharusnya demikian. Akan tetapi, tetap harus diproses secara hukum hingga tuntas. Sebaliknya, menjadi aneh dan patut dipertanyakan mengapa kemudian staf perempuan yang menjadi korban juga diusulkan diberhentikan. Ini jelas tidak adil dan bentuk pembungkaman kepada korban yang melaporkan tindakan yang tidak pantas diterimanya” tegas Riswati.
Lebih lanjut Abdullah menegaskan, BRA selama ini dikenal publik sebagai lembaga yang melakukan pemenuhan bagi korban konflik Aceh, tapi ternyata ada pegawai perempuan yang jadi korban pelecehan dan itu kembali dikorbankan oleh institusi ini.
“Siapa pun pimpinan SKPA juga harus bertanggung jawab memastikan tindakan demikian tak terjadi di organsiaiyang dipimpinnya” sebut Abdullah.
Pemerintah Aceh bersama DPRA sebelumnya sudah menetapkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Adanya Qanun ini sebenarnya dapat disebut sebagai terobosan untuk mengoptimalkan upaya yang sudah ada selama ini untuk mengatasi makin tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh.
Hanya saja, Qanun ini tidak secara spesifik mengatur untuk wilayah birokrasi. Karena itu perlu ada kebijakan pendukung yang spesifik menyasar birokrasi sebab wilayah birokrasi berbeda dengan wilayah publik pada umumnya. Oleh sebab itu, Gubernur Aceh harus menjadikan kasus ini sebagai pintu masuk untuk membangun budaya organisasi di seluruh SKPA yang punya kepekaaan dan kesadaran penghormatan terhadap perempuan.
“Sebagai daerah yang bersyariat dan Pemerintah Aceh selama ini menyatakan komitmen mendukung Syariat Islam, mestinya hal demikian tidak perlu terjadi. Pelecehan seksual terhadap perempuan di lingkungan birokrasi menandakan birokrasi belum menjamin perempuan dapat bekerja dengan aman” tegas Abdullah.
Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat pada umumnya sangat berbeda jika terjadi di birokrasi layaknya SKPA.
Oleh sebab itu, Direktur Flower Aceh ini juga mendesak Gubernur Aceh untuk segera menetapkan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan di lingkungan Pemerintah Aceh.
Mekanisme yang spesifik ini mengatur khusus bagi seluruh SKPA itu harus segera ditetapkan sehingga ada kejelasan bagaimana tindak kekerasan kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk dapat dicegah di lingkungan birokrasi. Didalamnya juga mengatur prosedur dan jaminan bagi pelapor sekaligus konsekuensi bagi pelaku baik dari sisi hukum maupun karirnya di birokrasi.
"Pegawai perempuan dengan posisi dan daya tawarnya dalam birokrasi akan lebih sulit dibandingkan dengan perempuan di gampong yang juga mengalami tindak kekerasan. Birokrasi itu ada relasi kuasa, ada atasan dan bawahan yang penuh dengan risiko yang itu sangat tidak mudah bagi pegawai perempuan, apalagi yang non PNS. Jadi, pegawai perempuan akan berpikir berulang kali untuk melaporkan setiap tindakakn yang sudah menjurus pada tindak kekerasan” sebut Riswati.
Peristiwa ini bisa menjadi saat yang tepat bagi Pemerintah Aceh untuk melakukan evaluasi peristiwa sekaligus menyusun langkah preventif.
“Perempuan di birokrasi butuh jaminan perlindungan untuk melaporkan setiap tindakan kekerasanl. Jadi Gubernur Aceh harus segera menetapkan Mekanisme Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Pemerintah Aceh.
Selain itu, penghormatan terhadap perempuan termasuk di lingkungan birokrasi ini juga tak kalah hebatnya dengan “ACEH HEBAT” yang selama ini digembar-gemborkan oleh Pemerintah Aceh” tegas Riswati. (akbar)[]