-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Jaga Perdamaian Aceh, Wali Nanggroe Minta Mantan GAM Kembali Bersatu

04 Desember 2019 | Desember 04, 2019 WIB | Last Updated 2019-12-05T02:52:20Z


Habanusantara.net, Aceh Besar,- Wali Nanggroe Aceh Tgk Malek Mahmud Al-Haythar meminta seluruh jajaran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk kembali bersatu, menjaga perdamaian Aceh.

Malek Mahmud Al-Haythar pada peringatan Milad ke 43 GAM, di Kompleks Makam Hasan di Tiro, Kemukiman Meure, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Rabu, (4/12/2019).

Katanya, dengan bersatu dapat mengantisipasi provokator-provokator yang anti perdamaian dan mencari solusi agar tidak ada lagi darah yang tertumprah di negeri Aceh.

“saya menghimbau kepada seluruh jajaran GAM untuk kembali bersatu mendukung perdamaian ini. Secara khusus saya meminta kepada KPA untuk membuat rapat-rapat sesuai tingkatan, membahas fenomena ini,” tegas Wali Nanggroe

Pada kesempatan itu juga,  Malik Mahmud juga menyampaikan salam takzim kepada seluruh pimpinan Gerakan Aceh Merdeka sejak periode 1976 hingga 2005. Mereka adalah, para Panglima TNA yang saat ini bergabung dalam KPA serta seluruh jajaran, yang memperjuangkan keadilan dan kepentingan rakyat Aceh dengan setia.

“Saya meminta saudara tiga menit untuk mengenang para syuhada yang telah berkorban untuk perjuangan rakyat Aceh dengan membacakan Al-Fatihah,” ujar Malek Mahmud Al Haytar.

Ia menambahkan, Peringatan Milad GAM yang diperingati tanggal 4 Desember setiap tahun ini  merupakan untuk mengingatkan kembali perjuangan panjang rakyat Aceh dibawah gagasan Gerakan Aceh Merdeka yang di proklamirkan Almahrum Wali Nanggroe Aceh Tengku Muhammad Hasan di Tiro, 4 Desember 1976 di Bukit Tjokkan, Kabupaten Pidie.

"Perjuangan bersenjata ini berakhir pada 15 Agustus 2005,  ditandai dengan kesepakatan bersama “Mou Helsinki” antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM di negara Finlandia," sebutnya.

Ia menyadari,  14 tahun sudah perdamaian Aceh ini, masih saja menyisakan permasalahan terhadap realisasi butir-butir kesepakatan Mou Helsinki dan turunannya, Undang-Undang No.11/2006, tentang Pemerintahan Aceh.

“Masih membekas di ingatan kita terhadap demonstrasi mahasiswa dan rakyat Aceh pada awal April tahun ini, yang menolak izin tambang di Beutong Ateuh dan penolakan terhadap izin tambang di dataran tinggi Gayo. Dalam Mou Helsinki dan UUPA serta PP Nomor 3 Tahun 2015, tentang kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, secara tegas telah menyebutkan, kewenangan perizinan pertambangan menjadi milik Aceh. Bahkan pembagian hasil 100 persen bagi Aceh berbeda dengan migas yang 70 perses bagi Aceh dan 30 persen bagi pemerintah pusat,” ungkap Wali Nanggroe.

“Rakyat Aceh tidak benci kepada pemilik izin tambang dan sangat menyambut adanya investasi di Aceh. Tapi, demonstrasi yang dilakukan tersebut adalah bentuk penolakan terhadap izin yang dikeluarkan pemerintah pusat bukan terhadap kehadiran investasi di Aceh,” ungkap Malek Mahmud.

Seharusnya kata, Wali Nanggroe, pemerintah pusat konsisten melaksanakan undang-undang dan seluruh regulasi lain, apalagi menyangkut dengan komitmen terhadap isi-isi Mou Helsinki.

Begitu juga terhadap permasalahan perpanjangan eksplorasi minyak dan gas bumi di Block B, yang menyita perhatian publik. Seharusnya Pemerintah Aceh mengambil alih langsung dan memberikanya kepada perusahaan daerah.

“Jangan malah memperpanjang kepada Pertamina dengan kontrak perpanjangan yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan baik undang undang Nomor 11 tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh maupun PP Nomor 23 tahun 2015, tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh,” tegas Malek Mahmud lagi.

" Blok B adalah salah satu alasan pembenaran rakyat Aceh memberontak dan menjadi isu penting yang didiskusikan di perundingan Helsinki, sehingga melahirkan poin tentang pembagian hasil migas 70:30. Karena itu saya menghimbau Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk menyelesaikan negosiasi Blok B dengan semangat Mou Helsinki,” pungkas Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar
close