Habanusantara.net, Banda Aceh – Keterbatasan fisik bukan halangan bagi Nurfaizah (33) mendidik anak-anak di desanya – Weu Siteh Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar – agar bisa membaca Alquran. Setiap malam rumah Nurfaizah selalu dipenuhi suara anak-anak belajar di rumah yang dijadikan juga sebagai balai pengajian bernama Awwalul Qullub.
Nurfaizah mengidap polio sejak lahir di kedua tangannya. Segala aktivitas dilakukannya secara mandiri menggunakan kedua kakinya. Baik itu menulis, memasak, dan segala aktivitas lainnya. Kondisi fisik tidak mematahkan semangatnya mengajar anak-anak mengaji selama 11 tahun – sejak 2008.
Ia mengajar anak-anak dari dasar hingga bisa membaca Alquran dengan sepenuh hati. Baginya, anak-anak itu sudah dianggap seperti anak-anaknya sendiri. “Kami menerima anak-anak yang mau belajar mengaji dari dasar. Tidak sedikit anak-anak yang diterima belajar mengaji karena harus memulai belajar dari dasar, tapi insya Allah selama ini kami siap menyambut mereka,” ucapnya saat mendatangi Kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh, Banda Aceh, Rabu (17/7).
Saat ini mengharapkan tersedianya sumur lengkap dengan kamar mandi kondusif di balai pengajian. Sumur yang saat ini digunakan berbagi dengan tetangga sebelah sehingga kurang nyaman digunakan murid-muridnya. Di samping itu, jumlah iqra dan Alquran di balai pengajian itu masih terbilang kurang untuk mengajarkan 23 murid-murid di sana.
Ia menuturkan tidak sanggup memenuhi kebutuhan fasilitas tersebut sebab terbatasnya ekonomi keluarga. Suaminya, Rahmat (31), bekerja sebagai tukang becak di sekitaran Banda Aceh. Penghasilannya sehari-hari paling banyak Rp 100.000. Suaminya berasal dari kalangan disabilitas yang mengalami kesulitan komunikasi dan kelainan dibagian wajah atas sejak lahir. Sehingga, mata sebelah kanannya tidak berfungsi normal.
Pernah dulu Nurfaizah berjualan. Kekurangan modal membuatnya sulit merebut hati pelanggan. Tak mau menyerah, sekarang ia ingin membuka usaha kerajinan tangan berupa menjahit payung pengantin dan mengolah barang bekas menjadi pot bunga. “Niat saya itu belum saya laksanakan. Saya bingung ke mana nanti memasarkannya,” terangnya.
Baginya, segala sesuatu pemberian Allah merupakan anugerah yang patut disyukuri. Sekalipun ia tidak merasa rendah diri dengan apa yang dimilikinya. Ia berusaha dengan segala kemampuan agar bermanfaat bagi orang lain. Dengan mengajarkan Alquran ia hanya mengharapkan rida Allah.
Lisdayanti, Supervisor Partnership ACT Aceh mengatakan, “Minyeuk Pret sebagai salah satu mitra peduli ACT InsyaAllah akan berpartisipasi mewakafkan 15 persen keuntungan dari penjualan produk Minyeuk Pret untuk pembangunan sumur wakaf beserta sanitasinya di balai pengajian Awwalul Qulub.”
Katanya, dukungan terhadap dunia pendidikan agama di tingkat gampong merupakan tanggung jawab bersama. Melatih anak-anak belajar Alquran di usia dini menjadi modal yang sangat penting bagi perkembangan pengetahuan generasi masa depan. “Apabila nantinya sumur sudah berdiri di Awwalul Qulub, mudah-mudahan semangat anak-anak belajar Alquran semakin meningkat,” lanjutnya.
Nurfaizah mengidap polio sejak lahir di kedua tangannya. Segala aktivitas dilakukannya secara mandiri menggunakan kedua kakinya. Baik itu menulis, memasak, dan segala aktivitas lainnya. Kondisi fisik tidak mematahkan semangatnya mengajar anak-anak mengaji selama 11 tahun – sejak 2008.
Ia mengajar anak-anak dari dasar hingga bisa membaca Alquran dengan sepenuh hati. Baginya, anak-anak itu sudah dianggap seperti anak-anaknya sendiri. “Kami menerima anak-anak yang mau belajar mengaji dari dasar. Tidak sedikit anak-anak yang diterima belajar mengaji karena harus memulai belajar dari dasar, tapi insya Allah selama ini kami siap menyambut mereka,” ucapnya saat mendatangi Kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh, Banda Aceh, Rabu (17/7).
Saat ini mengharapkan tersedianya sumur lengkap dengan kamar mandi kondusif di balai pengajian. Sumur yang saat ini digunakan berbagi dengan tetangga sebelah sehingga kurang nyaman digunakan murid-muridnya. Di samping itu, jumlah iqra dan Alquran di balai pengajian itu masih terbilang kurang untuk mengajarkan 23 murid-murid di sana.
Ia menuturkan tidak sanggup memenuhi kebutuhan fasilitas tersebut sebab terbatasnya ekonomi keluarga. Suaminya, Rahmat (31), bekerja sebagai tukang becak di sekitaran Banda Aceh. Penghasilannya sehari-hari paling banyak Rp 100.000. Suaminya berasal dari kalangan disabilitas yang mengalami kesulitan komunikasi dan kelainan dibagian wajah atas sejak lahir. Sehingga, mata sebelah kanannya tidak berfungsi normal.
Pernah dulu Nurfaizah berjualan. Kekurangan modal membuatnya sulit merebut hati pelanggan. Tak mau menyerah, sekarang ia ingin membuka usaha kerajinan tangan berupa menjahit payung pengantin dan mengolah barang bekas menjadi pot bunga. “Niat saya itu belum saya laksanakan. Saya bingung ke mana nanti memasarkannya,” terangnya.
Baginya, segala sesuatu pemberian Allah merupakan anugerah yang patut disyukuri. Sekalipun ia tidak merasa rendah diri dengan apa yang dimilikinya. Ia berusaha dengan segala kemampuan agar bermanfaat bagi orang lain. Dengan mengajarkan Alquran ia hanya mengharapkan rida Allah.
Lisdayanti, Supervisor Partnership ACT Aceh mengatakan, “Minyeuk Pret sebagai salah satu mitra peduli ACT InsyaAllah akan berpartisipasi mewakafkan 15 persen keuntungan dari penjualan produk Minyeuk Pret untuk pembangunan sumur wakaf beserta sanitasinya di balai pengajian Awwalul Qulub.”
Katanya, dukungan terhadap dunia pendidikan agama di tingkat gampong merupakan tanggung jawab bersama. Melatih anak-anak belajar Alquran di usia dini menjadi modal yang sangat penting bagi perkembangan pengetahuan generasi masa depan. “Apabila nantinya sumur sudah berdiri di Awwalul Qulub, mudah-mudahan semangat anak-anak belajar Alquran semakin meningkat,” lanjutnya.