HN-Banda Aceh, Belanda - Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah melakukan kunjungan kerja (kunker) singkat ke Belanda, 12 - 14 Juni lalu. Kunjungan ini dilaksanakan atas fasilitasi IDH (The Sustainable Trade Innitiative/Inisiatif Dagang Hijau), yg bermarkas di Utrecht, Negeri Belanda.
"Bapak diundang sebagai narasumber untuk memaparkan Peta Jalan Bisnis Berwawasan Lingkungan sebagai implementasi Aceh Green dan Aceh Meugo. Forum ini dimanfaatkan untuk penegasan di kalangan pebisnis Eropa," kata Jubir Pemerintah Aceh, Wiratmadinata, Jumat (15/6) lalu, seusai pertemuan Stakeholder Internasional di Utrecht.
Wira menjelaskan, selama Kunker itu, setidaknya ada dua pertemuan utama yg merupakan forum pemangku kepentingan; Perusahaan, NGO, dan pemerintahan, ditambah dgn enam pertemuan teknis tambahan yg diikuti tim pendukung. Di sana, pihak Aceh mendapat kesempatan untuk berdiskusi guna menjelaskan kelayakan produksi Pertanian Aceh dengan pendekatan Acehgreen.
"Kunker itu dimanfaatkan juga untuk membahas potensi kerjasama bidang pertanian dan perkebunan. Disana Bapak Plt bertemu para "buyer" seperti Pepsi.co, Musimas, Sinar Mas, AndgreenFund, Wakil Pemerintah, donor, dan lainnya. Target, Aceh bisa mendapatkan dukungan menembus pasar Internasional, khususnya Eropa," tambah Wira.
Dilaporkan, dalam pertemuan Plt Gubernur Aceh berkesempatan untuk menjelaskan kepada John Buchanan dari Conservation International (CI), David Pendlington dari Mars-Effem (buyer international) serta NGO lingkungan Belanda, ttg usaha peningkatan produksi pertanian di Aceh yang ramah lingkungan. David paling antusias untuk meninjau langsung ke Aceh dalam waktu dekat.
Wira menjelaskan, "Bisnis Berwawasan Lingkungan?" Ini adalah sebuah gerakan yang melihat lingkungan, khususnya hutan bukan hanya sebagai SDA yang harus dilindungi untuk kelestarian bumi, tapi juga dapat dimanfaatkan secara bertanggungjawab oleh masyarakat.
"Hal ini selaras dengan paradigma Aceh tentang Aceh Green, ya," terang Wira.
Ditambahkan, bisnis berwawasan lingkungan dapat juga dikatakan sebagai prinsip pemanfaatan SDA sebagai sumber kehidupan, khususnya pertanian & perkebunan, sebagai komoditi ekonomi berkelanjutan.
"Negara-negara Eropa & Amerika menerapkan standard "ramah lingkungan", sebagai syarat dalam bisnis hasil pertanian dan perkebunan," tambahnya.
Ekonomi Aceh, dijelaskan, selama ini mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai sumber pendapatan utama. Karena sektor jasa dan perdagangan umum masih lemah. "Maka, jika ingin meningkatkan bisnis hasil pertanian & perkebunan, mau tak mau harus ikuti standard Internasional," jelasnya.
Pemerintah Aceh, sebut Wira secara aktif berusaha menjadi bagian dalam usaha mendorong "Bisnis Berwawasan Lingkungan" pada level internasional. "Tujuannya agar produksi pertanian Aceh dapat diterima di pasar Internasional. Itulah sebabnya, Plt., Gubernur Aceh gencar promosi," sebutnya lagi.
"Bapak diundang sebagai narasumber untuk memaparkan Peta Jalan Bisnis Berwawasan Lingkungan sebagai implementasi Aceh Green dan Aceh Meugo. Forum ini dimanfaatkan untuk penegasan di kalangan pebisnis Eropa," kata Jubir Pemerintah Aceh, Wiratmadinata, Jumat (15/6) lalu, seusai pertemuan Stakeholder Internasional di Utrecht.
Wira menjelaskan, selama Kunker itu, setidaknya ada dua pertemuan utama yg merupakan forum pemangku kepentingan; Perusahaan, NGO, dan pemerintahan, ditambah dgn enam pertemuan teknis tambahan yg diikuti tim pendukung. Di sana, pihak Aceh mendapat kesempatan untuk berdiskusi guna menjelaskan kelayakan produksi Pertanian Aceh dengan pendekatan Acehgreen.
"Kunker itu dimanfaatkan juga untuk membahas potensi kerjasama bidang pertanian dan perkebunan. Disana Bapak Plt bertemu para "buyer" seperti Pepsi.co, Musimas, Sinar Mas, AndgreenFund, Wakil Pemerintah, donor, dan lainnya. Target, Aceh bisa mendapatkan dukungan menembus pasar Internasional, khususnya Eropa," tambah Wira.
Dilaporkan, dalam pertemuan Plt Gubernur Aceh berkesempatan untuk menjelaskan kepada John Buchanan dari Conservation International (CI), David Pendlington dari Mars-Effem (buyer international) serta NGO lingkungan Belanda, ttg usaha peningkatan produksi pertanian di Aceh yang ramah lingkungan. David paling antusias untuk meninjau langsung ke Aceh dalam waktu dekat.
Wira menjelaskan, "Bisnis Berwawasan Lingkungan?" Ini adalah sebuah gerakan yang melihat lingkungan, khususnya hutan bukan hanya sebagai SDA yang harus dilindungi untuk kelestarian bumi, tapi juga dapat dimanfaatkan secara bertanggungjawab oleh masyarakat.
"Hal ini selaras dengan paradigma Aceh tentang Aceh Green, ya," terang Wira.
Ditambahkan, bisnis berwawasan lingkungan dapat juga dikatakan sebagai prinsip pemanfaatan SDA sebagai sumber kehidupan, khususnya pertanian & perkebunan, sebagai komoditi ekonomi berkelanjutan.
"Negara-negara Eropa & Amerika menerapkan standard "ramah lingkungan", sebagai syarat dalam bisnis hasil pertanian dan perkebunan," tambahnya.
Ekonomi Aceh, dijelaskan, selama ini mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai sumber pendapatan utama. Karena sektor jasa dan perdagangan umum masih lemah. "Maka, jika ingin meningkatkan bisnis hasil pertanian & perkebunan, mau tak mau harus ikuti standard Internasional," jelasnya.
Pemerintah Aceh, sebut Wira secara aktif berusaha menjadi bagian dalam usaha mendorong "Bisnis Berwawasan Lingkungan" pada level internasional. "Tujuannya agar produksi pertanian Aceh dapat diterima di pasar Internasional. Itulah sebabnya, Plt., Gubernur Aceh gencar promosi," sebutnya lagi.
Undangan pihak IDH, yang menyediakan forum pertemuan dengan para pihak ini, segera dimanfaatkan Pemerintah Aceh. "Dalam ajang inilah Bapak Plt mengajak para buyer untuk membeli kopi, pala, coklat, sawit, dan produk pertanian plus perkebunan lainnya dari Aceh," kata Wira.
Keluhan Pasar Eropa, Wira juga melaporkan bahwa para pembeli Eropa masih mengeluhkan kualitas produk tani & kebun Aceh. Ada banyak persepsi negatif tentang Aceh, meski begitu, Nova Iriansyah meyakinkan pihak donor untuk membantu pelatihan bagi petani Aceh, sehingga mereka bisa bersaing dengan produk global.
Wira juga memperlihatkan contoh produk yang sudah mendapatkan sertifikasi "ramah lingkungan" (green), dari Pemerintah EU. "Produsen seperti Lipton, tidak Akan membeli produk petani kita, jika prosesnya masih belum disertifikasi. Inilah yang diperjuangkan oleh Plt Gubernur Aceh dalam kunkernya di Belanda," sebutnya. Yaitu memberikan penjelasan yg proporsional.
Wira menambahkan, kehadiran Plt Gubernur Aceh bukan hanya memperjuangkan untuk mendapatkan pasar tapi juga meningkatkan kualitas produksi + volumenya agar bisa menjamin suplai ekspor. Karena terkadang produknya diminati, tapi suplai tidak stabil. "Itulah beberapa Hal penting dari Forum IDH tersebut," kata Wira.
"Salahsatu "buyer" besar yang akan menjajaki produk pertanian Aceh adalah Mars-efm (Wrigley, dll), serta Pepsi.co., dalam waktu dekat mereka segera meninjau ke Aceh dalam waktu dekat. Sebagai produsen makanan prinsipnya mereka membeli semua komoditi. Karena itu mari kita bersiap," tutup Wira[adv]