HN-Banda Aceh - Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Aceh, Helvizar Ibrahim, mengatakan penerapan Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun) khususnya bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit akan mendongkrak perekonomian Indonesia serta membawa kesejahteraan bagi masyarakat luas. Lewat sistem tersebut, kata dia, keseluruhan data perusahaan perkebunan akan terintegrasi dengan baik.
“Semua pelaku usaha harus sukseskan sistem ini. Kalau dijalankan dengan baik akan sangat mudah,” kata Helvizar saat membuka Workshop Database Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun) Provinsi Aceh di Hotel Hermas Palace Banda Aceh, Selasa (30/04/2019) pagi.
Helvizar menambahkan, dengan terintegrasinya data tersebut akan memudahkan semua pihak dalam memantau aktivitas perkebunan khususnya di Aceh. Di samping itu, pendapatan negara lewat pajak juga akan meningkat.
“Tata kelola perizinan yang berbasis data akan menghambat perilaku korupsi,” kata Helvizar.
Saat ini, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan luasan kebun sawit terbesar di dunia. Dari kajian sistem tata kelola komoditas kelapa sawit oleh Direktorat Penelitian Dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2016, mencatat bahwa total luasan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2015 yaitu seluas 15,7 juta hektar. Seluas 10,7 juta Ha (68%) di antaranya dikelola swasta. Sementara BUMN mengelola seluas 493,7 ribu Ha (3%) dan perkebunan rakyat seluas 4,4 juta Ha (29%).
Keseluruhan luasan itu menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, dengan market share mencapai 52,5% unggul jauh dari Malaysia yang hanya memiliki market share 32,6%. Total produksi Indonesia tahun 2012-2015 adalah sebesar 124 juta MT dengan pertumbuhan pertahun mencapai 4,0%
Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik per tahun 2015, kelapa sawit menyumbang 7-8% PDB. Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2015 juga mencatat bahwa sawit telah menyumbang Rp 22,27 triliyun penerimaan negara dari pajak. Sementara penerimaan negara dari pungutan ekspor mencapai Rp 11,7 triliyun.
Direktorat Litbang KPK, Sulistianto, mengatakan, dari hasil kajian itu diketahui bahwa penerimaan pajak sektor kelapa sawit hanya berkontribusi sebesar 2,1% dari total penerimaan pajak. Rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak sektor kelapa sawit sebesar 10,9% pertahun. KPK menemukan tiga kelemahan dalam tata kelola komoditas kelapa sawit di Indonesia.
Tiga kelemahan tersebut adalah sistem pengendalian perizinan usaha perkebunan yang tidak akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha. Selanjutnya adalah tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor komoditas kelapa sawit dan tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Karena itu, dengan penerapan Sistem Informasi Perizinan Perkebunan, Sulistianto berharap, terciptanya koordinasi antara pemerintah daerah dengan kementerian/lembaga dalam proses penerbitan dan pengendalian perizinan. Dengan demikian tata kelola perizinan akan lebih baik dan bisa mengoptialisasi pendapatan negara dari sektor pajak.
“Nantinya semua akan diinput ke sistem sehingga mekanisme chek in balance berjalan baik. Mereka (pelaku usaha) tidak bisa main-main (berkaitan dengan pajak) di samping juga perbaikan tata kelola secara keseluruhan,” kata Sulistianto.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Abdul Hanan, mengatakan di Aceh tercatat ada 160 perusahaan dengan luas HGU yang mencapai 371 ribu hektar. Angka itu belum dikalkulasikan dengan ribuan lahan yang dikelola oleh rakyat. Di samping itu tercatat ada 60 pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 20 hingga 60 ton TBS per jam.
“Seluruh direktur dari perusahaan sawit di Aceh itu hari ini kita kumpulkan untuk dikenalkan tata kelola perizinan berbasis data lewat Sistem Informasi Perizinan Perkebunan,” kata Hanan. Dengan system, kata dia, baik di tingkat pusat mau pun provinsi bisa melakukan verifikasi data secara bersama.