-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Prof.Dr. Husni SH. MH: Lembaga Wali Nanggroe Kaya Struktur Miskin Fungsi.

11 Desember 2018 | Desember 11, 2018 WIB | Last Updated 2018-12-11T16:45:55Z

HN- Banda Aceh- Mantan Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka yang juga tokoh perdamaian Aceh, Zakaria Saman, yang lebih dikenal dengan sebutan Apa Karya, menyebutkan diakhiri dengan diundangkannya UU No 11/2006, tentang Pemerintah Aceh, diperoleh dengan berbagai pengorbanan rakyat. Oleh sebab itu apa yang telah diberikan pemerintah pusat kepada Aceh saat ini, harus dijaga secara bersama-sama. Karena itu merupakan warisan perjuangan bangsa Aceh.

Hal tersebut disampaikannya, dalam diskusi dengan tema" Qui Vadis Lembaga Wali Nanggroe" yang digelar di aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Lantai.2 Darussalam Banda Aceh, Senin (10/12)

Menurutnya, dalam pelaksanaan kelembagaan Wali Nanggroe belum dapat melaksanakan peran dan kewenangannya secara optimal sebagaimana yang diharapkan, maka rakyat Aceh serta seluruh komponen masyarakat Aceh harus turut ambil bagian membantu peran dalam bentuk kontribusi yang beragam.

"Bek Bengeh ke Supir, moto ta thet, artinya, jangan karena kita marah kesupir, motor yang kita bakar. Itu tidak logis itu," ujar Apa Karya.

Sementara itu, Prof. Dr. Husni, SH.MH, guru besar Hukum Tata Negara Universitas Syiah Kuala, menyebutkan, secara yuridis keberadaan kelembagaan Wali Nanggroe di Aceh merupakan sesuatu keniscayaan, mengingat eksistensi kelembagaan WN merupakan dari UU No.11 tahun 2006, tentang pemerintah Aceh.

Dikatakannya, didalam UU tersebut terdapat Bab yang secara khusus mengatur berkenaan lembaga WN yakni di Bab Xll.

Dikatakan Husni, setidaknya terdapat.2 (dua) yang mengatur mengenai kelembagaan, di Pasal 96 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (4) pasal 97 UU No.11 tahun 2006" lanjut Husni.

Tambahnya, secara yuridis normatif, lembaga Wali Nanggroe memiliki pesan penting dan strategis, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 96 ayat (1) UU No.11 tahun 2006, merupakan kepemimpinan adat, sebagai pemersatu masyarakat yang Indenpenden, berwibawa dan berwenang dalam membina dan mengawasi penyelenggarasn kehidupan lembaga-lembaga, adat istadat dan pemberian gelar derajat, serta upacara-upacara adat lainnya, mengingat keberadaan kelembagaan WN itu merupakan pengaturan asimetris bagi Aceh, sebagai wujud ke khususan dan ke istimewaan bagi provinsi Aceh yang tidak dimiliki oleh provinsi lainnya di Indonesia, maka keberadaan lembaga WN harus dipertahankan.

"Permasalahan ketidak optimalnya dalam pelaksanaan pertanggungjawaban Wali Nanggroe, sebagaimana yang di amanatkan oleh UU No.11 tahun 2006, tentang lembaga WN, Qanun Aceh nomor 9 tahun 2013, tentang perubahan atas Qanun Aceh nomor 8 tahun 2012, terkait lembaga Wali Nanggroe, maka dimasa mendatang perlu menjadi catatan penting dalam upaya mendorong peran pemangku Wali Nanggroe berikutnya yang lebih optimal dalam melaksanakan tugas dan kewenangan, sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan perundang- undangan," papar, Husni.

Menurut amatannya, struktur kelembagaan WN, berdasarkan Qanun Aceh No.8 tahun 2012, tentang lembaga Wali Nanggroe, sebagaimana telah di ubah dengan Qanun No.9 tahun 2013, terlalu kaya struktur, namun miskin fungsi, hal itu pula yang menjadi salah satu penyebab, mengapa peran dan ke manfaatan ke lembagaan Wali Nanggroe tersebut kurang dirasakan oleh masyarakat" tutup Husni.

Selanjutnya, ketua komisi l DPR Aceh, Azhari Cage, SIP, menyebutkan, lembaga Wali Nanggroe, merupakan amanat UU No.11 tahun 2006 sebagaimana amanat MoU Helsinkii.

Untuk itu jika ada pihak pihak yang mengatakan lembaga Wali Nanggroe tidak di perlukan lagi di Aceh, sama halnya dengan mengatakan, bahwa perdamaian tidak lagi di perlukan dan harus di akhiri di Aceh.

"Siapapun yang mengatakan, bahwa lembaga Wali Nanggroe tidak di perlukan lagi di Aceh dan harus dibubarkan, maka sama saja orang yang bersangkutan adalah anti perdamaian" tegas, Azhari Cage.

Ditambahkan Syarifah Rahmatillah, S.H, selaku direktur MiSPl Aceh, mengatakan, keberadaan kelembagaan Wali Nanggroe tetap harus di pertahankan, karena itu merupakan ke khususan bagi Aceh.

Hanya saja pemangku lembaga Wali Nanggroe ini belum mampu berbuat banyak dalam melaksanakan peran dan kewenangannya.

"Padahal dari aspek alokasi anggaran yang diberikan kepada Wali Nanggroe, termasuk berlebihan," terangnya.

Begitupun Adli Abdullah, S.H, PhD, menyebutkan, bahwa dalam sejarah, kehadiran Wali Nanggroe di Aceh disebabkan karena suasana kepentingan, seperti raja perempuan atau masih anak-anak, atau raja meninggal, maka muncul Wali Nanggroe, atau kepala negara sementara pengganti raja.

Dia menyebutkan, Wali Nanggroe yang ada sekarang di Aceh lebih disebabkan karena konsensus, politik yang terdapat dalam MoU Helsinki, antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

"Konsensus politik menjadi sangat kuat setelah di perintahkan dalam sistim perundang-undangan Republik Indonesia. Untuk itu secara legal formal, kehadiran Wali Nanggroe wajib ada," paparnya.

Terjadinya pro dan kontra tentang lembaga Wali Nanggroe selama ini, mungkin di sebabkan ke hadiran Wali Nanggroe belum ada kiprahnya sebagai lembaga pemersatu masyarakat Aceh, dan pelestarian kehidupan, adat dan budaya seperti Wali Nanggroe berada di menara gading dan vinus" tutup Adli (***).
close