BANDA ACEH – Gempa 7.0
Skala Richter (SR) yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) ternyata
sudah tercatat dalam dalam kitab kuno yang dipamerkan di Rumoh Manuskrip Aceh
yang ada di Museum Aceh pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Banda Aceh.
Kitab kuno yang sudah
ada sejak abad 18 itu membahas tentang gempa berdasarkan waktu kejadian. Gempa
di NTB terjadi pada Minggu, 5 Agustus 2018 atau 23 Dzulkaidah 1439 H, sekitar
pukul 18.46 WIB. Bisa diutarakan bahwa gempa terjadi sewaktu Maghrib.
"Jika pada Bulan
Dzulkaidah gempa ketika magrib alamat orang kaya banyak mati," kata
penjaga stan, ungkap Istiqamatunnisaq saat membaca kitab yang dibuat tahun 1725
tersebut.
Maksud dari kalimat
itu adalah, sebutnya, akan banyak orang yang meninggal akibat gempa.
Istiqamatunnisaq juga
membacakan gempa yang terjadi di waktu-waktu lainnya. Bahkan, gempa dengan
disusul tsunami yang terjadi di Aceh pada Minggu 26 Desember 2004 silam dalam
waktu Dhuha (pagi) juga tertera di kitab tersebut.
"Jika pada bulan
Dzulkaidah gempa, pada ketika subuh alamat segala buah-buahan menjadi dalam
pohon itu. Jika pada ketika Dhuha alamat bala akan datang kepadanya tsunami.
Jika ketika zuhur alamat hujan sangat akan datang kepadanya. Jika ketika Ashar
alamat baik negeri itu padanya. Jika pada jika pada ketika magrib alamat orang
kaya banyak mati. Jika pada Isya alamat orang yang dari jauh akan datang ke
negeri itu padanya," bacanya.
"Bab jika pada
bulan Dzulhijjah lembu-lembu banyak, bermula air kurang pada tahun itu. Bermula
jikalau pada malamnya gempa alamat orang banyak sakit adanya pada tahun
itu," baca Istiqamatunnisaq lagi.
Sementara itu,
kolektor manuskrip kuno sekaligus pemilik kitab kuno itu, Tarmizi A Hamid,
mengatakan, Indonesia memang daerah yang rawan akan gempa.
"Ulama dulu
menulis manuskrip Aceh sesuai dengan peristiwa, jadi dengan adanya manuskrip
gempa yang begitu lengkap, begitu detil, berarti negara kita ini dikepung oleh
bencana atau rentan dengan bencana," kata Tarmizi atau dikenal dengan Cek
Midi.
Mengenai siapa
penulisnya, ia tidak mengetahuinya, namun dapat dipastikan bahwa kitab itu
ditulis oleh para ulama dan pemikir sufi sekitar abad ke-18. Hal itu
berdasarkan watermark yang ada pada kertas.
Meskipun demikian,
dia kembali menegaskan bahwa alam Indonesia memang rawan bencana. Dia
menambahkan tidak mungkin orang dahulu menulis kitab tersebut jika tidak ada
peristiwa yang terjadi selain untuk dipelajari.
"Dengan adanya
catatan dari manuskrip ini baru kita tahu bahwasanya Indonesia ini memang
rentan atau sangat dekat dengan bencana," jelas Cek Midi.[]